JAKARTA, KOMPAS.TV - Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset memungkinkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyita aset yang terbukti dari hasil kejahatan.
Namun prosesnya harus melalui pengadilan. JPU mengajukan permohonan kepada majelis hakim untuk menyita aset milik tersangka atau terdakwa.
Setelah dikabulkan maka negara melalui Kejaksaan Agung bisa merampas aset, harta yang terbukti dari hasil kejahatan.
Perumus naskah akademik RUU Perampasan Aset, Yunus Husein, menjelaskan mekanisme perampasan aset melalui pengadilan dibuat agar tidak ada proses perampasan yang dilakukan saat penyelidikan ataupun penyidikan.
Baca Juga: Menunggu RUU Perampasan Aset Dibahas DPR, ‘Now or Never?’ - OPINI BUDIMAN
"Tidak bisa kalau tidak ada putusan pengadilan, selalu harus ada putusan pengadilan atas dasar permohonan dari kejaksaan baru ditetapkan dirampas untuk negara dieksekusi oleh jaksa. Jadi enggak ada perampasan yang dilakukan tanpa putusan pengadilan," ujar Yunus saat wawancara eksklusif di program Ni Luh KOMPAS TV, Senin (15/5/2023).
Yunus menambahkan mekanisme melalui pengadilan ini juga memberi kesempatan bagi pihak ketiga atau pihak berkepentingan untuk membantah aset yang sedang disengketakan tidak berkaitan dengan perkara.
RUU Perampasan Aset dibuat untuk memungkinkan JPU menyita aset hasil kejahatan terhadap pelaku yang melarikan diri, meninggal dunia dan berada di luar negeri.
Sebab aturan yang berlaku saat ini, aset, harta atau barang bukti hanya bisa dirampas negara jika sudah ada keputusan pengadilan secara inkracht.
Baca Juga: Jokowi Tegaskan akan Terus Kejar Obligor BLBI yang Tidak Kooperatif
Jika nantinya RUU Perampasan Aset disahkan menjadi UU maka negara melalui Kejaksaan Agung bisa merampas aset tanpa menunggu vonis pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa.
"Pendekatan RUU ini banyak penerapan perampasan aset tanpa tuntutan pidana. Orangnya tidak dihukum, mungkin buron, meninggal dunia, tidak dapat dieksekusi karena susah asetnya saja yang dirampas untuk negara. Jadi pelakunya tidak dihukum dulu tapi langsung asetnya dirampas," ujar Yunus.
Lebih lanjut Yunus menjelaskan jika sudah disahkan menjadi UU, tidak semua tindak pidana bisa diterapkan perampasan aset.
Dalam draf RUU Perampasan Aset telah dibuat batasan perkara yang bisa dilakukan perampasan yakni ancaman hukuman empat tahun lebih. Jumlah aset yang dirampas ditentukan paling sedikut Rp100 juta.
Baca Juga: KPK Sita Rumah Rafael Alun yang Dibeli dari Pengusaha Grace Tahir!
"Kenapa Rp100 juta, dalam kasus narkotika misalnya yang disita misalnya asbak, buat apa barang-barang kecil ngerepotin kita. Jadi harus ada nilai yang signifikan," ujar Yunus.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (surpres) terkait pembahasan RUU Perampasan Aset berikut naskah RUU kepada pimpinan DPR pada 4 Mei 2023.
Dalam surpres tersebut, Presiden Jokowi memberi tugas kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo sebagai wakil pemerintah membahas RUU tersebut di DPR.
Draf RUU Perampasan Aset yang disampaikan pemerintah kepada DPR terdiri dari 7 bab dan 68 pasal.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.