JAKARTA, KOMPAS.TV- Ribuan tenaga medis dan tenaga kesehatan berunjuk rasa di sekitar kawasan Monas serta depan kantor Kementerian Kesehatan, untuk menyerukan penolakan Rancangan Undang-Undang Kesehatan pada Senin (8/5/2023) kemarin.
Mereka menilai pembahasan regulasi itu terburu-buru, tidak terbuka, dan belum mencakup aspirasi publik secara luas.
”Baru kali ini lima organisasi profesi kesehatan turun bersama, terdiri dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan mahasiswa. Ini artinya ada kepentingan bersama, ada persoalan yang harus diperhatikan pemerintah," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Moh Adib Khumaidi saat mengikuti aksi damai, seperti dikutip dari Kompas.id.
Menurutnya, salah satu aturan yang didorong adalah memperkuat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam menjalankan praktik keprofesian dengan standar yang berlaku.
Namun, hal itu justru tidak diatur dalam RUU Kesehatan.
”Hal ini menjadi bentuk kriminalitas bagi tenaga kesehatan dan tenaga medis. Negara seharusnya hadir melalui norma yang konkret yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan dan tenaga medis tidak dapat dituntut pidana sepanjang menjalankan praktik profesinya sesuai standar,” tutur Adib.
Baca Juga: Ribuan Tenaga Medis dan Nakes Unjuk Rasa, DPR Sebut Akan Perbaiki Naskah RUU Kesehatan
RUU Kesehatan sebelumnya disetujui sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 di Jakarta, Selasa, 14 Februari 2023.
Setelah itu, pembahasan dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait untuk penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM). Pada Rabu, 5 April 2023, DIM dari Kementerian Kesehatan resmi diserahkan kepada DPR dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI.
Dalam penyusunan DIM, Kementerian Kesehatan telah melakukan kegiatan dengar pendapat dan konsultasi publik pada sejumlah organisasi dan lembaga terkait.
Namun, masukan yang disampaikan organisasi profesi kesehatan dinilai tidak terakomodasi dalam DIM yang diserahkan Kementerian Kesehatan tersebut.
”Dalam public hearing (dengar pendapat) kemarin, tidak ada satu pun pemikiran saya yang masuk dalam DIM. Padahal, itu cukup bagus dan mewakili suara organisasi profesi. Artinya (dengar pendapat) kemarin itu apakah hanya ’nina bobo’?” ungkap Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Cabang Makassar Eka Erwansyah yang juga hadir di lokasi.
Baca Juga: Menkes: RUU Kesehatan Bukan untuk Dokter Atau Kemenkes, tapi Masyarakat
Ia menegaskan, pembahasan RUU Kesehatan yang tidak sesuai dengan aspirasi publik tersebut perlu dihentikan. Organisasi profesi kesehatan yang melaksanakan program kesehatan di lapangan harus menjadi subyek, bukan obyek dalam RUU Kesehatan.
Sementara itu, Ketua Bidang Organisasi PB Ikatan Dokter Indonesia Mahesa Paranadipa Maikel menyampaikan, pembahasan RUU Kesehatan telah melanggar proses demokrasi dalam penyusunan perundang-undangan.
Pembahasan dalam rancangan undang-undang tersebut juga dinilai telah mengadu domba dan mendiskreditkan organisasi profesi kesehatan.
Ia pun berharap agar pembahasan RUU Kesehatan dihentikan. Pembahasan tidak perlu dilakukan secara terburu-buru sehingga dapat menghasilkan regulasi yang baik untuk semua pihak.
Dalam pembahasan pun harus melibatkan semua pihak terkait serta mengakomodasi aspirasi dari organisasi profesi.
Baca Juga: RUU Kesehatan Mulai Dibahas, Kemenkes Ajak Masyarakat untuk Kirim Masukan ke Link Ini
”Jika pemerintah ingin memperbaiki sistem kesehatan ke depan, mohon stop dulu pembahasan RUU Kesehatan. Kita duduk bersama lagi, kita bicarakan lagi visi misi untuk perbaikan Indonesia ke depan," ujar Mahesa.
"Apabila dalam satu-dua hari ke depan tidak ada respons terkait itu, penolakan ini akan berlanjut ke aksi yang lebih besar dengan penghentian layanan di luar unit darurat,” lanjutnya.
Saat unjuk rasa, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha menemui perwakilan massa.
Ia mengatakan, semua masukan yang disampaikan dalam aksi damai dari organisasi profesi kesehatan akan didengarkan.
Meski demikian, ia menegaskan, transformasi kesehatan tetap harus dilakukan. Reformasi dilakukan untuk masyarakat, bukan hanya untuk organisasi, kepentingan pribadi, ataupun kepentingan satu pihak saja.
Baca Juga: KTT ASEAN Bikin Okupansi Hotel Labuan Bajo 100 Persen, 2 Kepala Negara Menginap di Bali
”(Masukan) kami dengarkan. Kami akan diskusikan tetapi intinya satu, transformasi harus dilakukan. Pengalaman kita dengan Covid-19 telah mengajarkan hal itu,” ucap Kunta.
Diberitakan Kompas TV sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membeberkan sejumlah alasan diperlukannya RUU Kesehatan.
Salah satu yang disorot Menkes Budi adalah jumlah dokter yang masih kurang di Indonesia.
Data Kemenkes RI melaporkan, Indonesia masih membutuhkan sekitar 400 dokter spesialis jantung. Tapi saat ini dari 92 fakultas kedokteran, hanya ada 20 di antaranya yang memiliki program studi spesialis, sehingga membutuhkan waktu produksi yang lama.
Kekurangan dokter spesialis terbanyak dialami layanan kebidanan dan kandungan sebanyak 3.941 dokter, dokter spesialis kesehatan anak 3.662 dokter, dokter penyakit dalam 2.581 dokter.
Baca Juga: AS Terancam Gagal Bayar Utang, Ekonom Minta RI Siapkan Langkah Antisipasi
Dengan jumlah dosen dan kuota mahasiswa per dosen saat ini, fakultas kedokteran di Indonesia diperkirakan membutuhkan 1,36 tahun untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis kebidanan dan kandungan, 2,26 tahun untuk dokter spesialis kesehatan anak, 3,23 tahun untuk dokter spesialis penyakit dalam.
Budi menuturkan, Kemenkes telah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk menambah kuota penerimaan beasiswa dokter spesialis dan sub-spesialis.
Selain itu, Budi juga menyorot tentang pentingnya peningkatan layanan primer melalui RUU Kesehatan.
"Dalam RUU ini banyak topik mengenai penguatan layanan primer, melalui skrining, posyandu, laboratorium kesehatan masyarakat, sehingga didapat data kasus, itu semua diintegrasikan dengan teknologi. Vaksinasi juga kami dorong, ada sekitar 10 hingga 12 program," ungkap Budi beberapa waktu lalu.
Budi mengatakan, saat ini terdapat sekitar 3.000 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah dirangkum dalam 400 lebih pasal di RUU Kesehatan, dan baru 100 DIM di antaranya yang dibahas.
Baca Juga: Hakim: Atas Perintah Teddy Minahasa, AKBP Doddy Ambil Barang Bukti Sabu Sebanyak 10 Ribu Gram
Ia juga berkomitmen, pembahasan RUU Kesehatan ini akan dilakukan secara transparan. Masyarakat bisa berpartisipasi melalui public hearing website yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan.
Sebagai bagian dari proses partisipasi publik, masyarakat dapat memberikan masukan dan tanggapan terkait penyusunan materi RUU Kesehatan melalui laman ini.
Secara paralel, Kemenkes juga menyelenggarakan berbagai kegiatan partisipasi publik secara Luring dan Daring di mana jadwal kegiatan tercantum juga dalam laman https://partisipasisehat.kemkes.go.id.
Sumber : Kompas.id, Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.