Kompas TV nasional hukum

TNI Jawab Kritik Terapkan Siaga Tempur di Papua: Tak Usah Khawatir, Semua Tersusun dan Tidak Ngawur

Kompas.tv - 22 April 2023, 04:05 WIB
tni-jawab-kritik-terapkan-siaga-tempur-di-papua-tak-usah-khawatir-semua-tersusun-dan-tidak-ngawur
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono (dua kanan) tiba di Papua, Senin (17/4/2023), untuk memimpin evaluasi operasi pencarian dan penyelamatan pilot Susi Air yang disandera oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua. (Sumber: ANTARA/HO-Pusat Penerangan TNI)
Penulis : Tito Dirhantoro | Editor : Fadhilah

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kepala Pusat Penerangan atau Kapuspen TNI Laksda Julius Widjojono menjawab kritik yang disampaikan sejumlah pihak terkait langkah Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang memutuskan menerapkan siaga tempur di Papua.

Diketahui, operasi siaga tempur diterapkan buntut peristiwa penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang menewaskan empat prajurit TNI Angkatan Darat, salah satunya Pratu Miftachul Arifin.

Baca Juga: Soal Siaga Tempur TNI di Papua, Pengamat: Pasukan Jangan Ragu Lepas Tembakan jika Ada Serangan KKB

Terkait hal itu, Laksda Julius meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan operasi siaga tempur yang diterapkan TNI di sejumlah daerah rawan di Papua.

Sebab, kata dia, operasi siaga tempur itu sudah tersusun dengan rapi. Ia memastikan operasi siaga tempur TNI tidak akan melebar ke mana-mana.

"Tidak usah khawatir dengan istilah siaga tempur, karena itu memang sudah tersusun, tidak ngawur, tidak melebar ke mana-mana, ya di situ," kata Julius di Mabes TNI, Jakarta, Jumat (21/4/2023).

Menurut Julius, keputusan TNI menerapkan operasi siaga tempur perlu diambil karena penanganan masalah di Papua itu, berdasarkan pengalaman selama lebih dari 50 tahun, dinilai belum berhasil.

"Kata kuncinya dari 50 tahun. Zamannya Pak Soeharto tidak berhasil, kurang keras seperti apa?" ujarnya.

Julius menambahkan, operasi siaga tempur perlu dilakukan karena aksi KKB atau kelompok separatis teroris (KST) di Tanah Papua semakin agresif.

Baca Juga: Detik-Detik TNI Diserang KKB saat Hendak Bebaskan Pilot Susi Air, Pasukan Diadang dan Ditembaki

Mereka kerap mengancam keselamatan masyarakat, prajurit, juga kedaulatan Nevara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

"Siaga tempur dilakukan hanya di daerah-daerah rawan, daerah yang ditandai sebagai pusat-pusat operasi mereka," ujar Julius.

"Adapun secara fisik, kekuatan alutsista dan persenjataan tidak ada perubahan."

Sementara itu, Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono sebelumnya mengumumkan penerapan operasi siaga tempur di daerah-daerah rawan di Papua.

Operasi itu diterapkan terkait penyerangan oleh KKB terhadap pasukan TNI yang sedang menyisir lokasi di Mugi-man, Nduga, pada Minggu (15/4), guna mencari pilot Susi Air Phillips Mehrtens.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak TNI untuk membatalkan operasi siaga tempur di Papua.

Ketua Centra Initiative, Al Araf, dari perwakilan koalisi itu mengungkapkan alasannya mendesak agar operasi tersebut dibatalkan. Sebab, kebijakan itu hanya akan terus memproduksi kekerasan.

Baca Juga: Panglima TNI Tegaskan Tak Ada Penambahan Prajurit dan Alutsista di Papua Usai Serangan KKB

"Jika itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka koalisi mendesak agar rencana itu dibatalkan," kata Araf dalam keterangan resminya yang dikutip dari Kompas.com pada Rabu (19/4/2023).

Araf menuturkan, pendekatan keamanan militeristik yang diterapkan selama ini, baik secara langsung dan tidak langsung berakibat terjadinya peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.

Ia mengungkapkan, beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Papua seperti pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani pada 2020 hingga pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap empat warga sipil di Papua pada 2022.

Tak hanya itu, ia melanjutkan, ada pula kasus penyiksaan terhadap tiga anak yang dituduh melakukan pencurian pada 2022.

Araf menyebut, selama ini praktik impunitas selalu menjadi persoalan yang terus terjadi dalam kekerasan yang melibatkan aparat keamanan di Papua.

Karena itu, penegakkan hukum dinilai lebih tepat untuk memutus mata rantai persoalan impunitas tersebut.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak TNI Batalkan Operasi Siaga Tempur di Papua, Ini Alasannya

Menurutnya, hal itu lebih penting untuk mencegah berulangnya kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua.

Araf menegaskan, pendekatan keamanan militeristik di Papua harus segera dievaluasi.

Adapun evaluasi itu bisa dilakukan dengan upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI di Papua.

"Selama ini, ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional, seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua," kata Araf.

Araf juga menilai, dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua memiliki banyak persoalan yang tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Pada Pasal 7 Ayat (3) UU TNI, misalnya, Araf menegaskan, pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) oleh TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada keputusan politik negara atau keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI.

Namun, berdasarkan penelusuran Imparsial, salah satu organisasi yang turut tergabung dalam koalisi, mencatat hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua.

Baca Juga: Dukung Panglima TNI Tingkatkan Status Siaga Tempur di Papua, Bamsoet Minta Pasukan Ditambah

"Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan ilegal," kata Araf.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x