JAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai pelanggaran etik yang berulang di lembaga antirasuah itu terjadi karena tidak ada sanksi tegas dari Dewan Pengawas (Dewas).
"Sebenarnya kenapa terjadi lagi pelanggaran etik seperti yang diduga dilakukan oleh Firli Bahuri (Ketua KPK) dan yang lainnya, mungkin dikarenakan setiap pelanggaran etik yang dilakukan sebelumnya tidak pernah diberikan sanksi yang tegas oleh Dewas," kata Abraham dalam Kompas Petang Kompas TV, Jumat (14/4/2023).
Menurutnya, ketiadaan sanksi tegas tersebut membuat para pelanggar etik di KPK tidak merasakan efek jera.
"Oleh karena itu yang jadi konsentrasi kita adalah sekarang ini posisi Dewas sangat menentukan," tegasnya.
Abraham pun kemudian menyinggung dugaan pelanggaran etik oleh Ketua KPK Firli Bahuri yang diadukan sejumlah pihak ke Dewas KPK, termasuk dirinya bersama sejumlah mantan pimpinan KPK.
Mantan Ketua KPK periode 2011-2015 ini kemudian mewanti-wanti agar Dewas memeriksa dugaan pelanggaran etik oleh Firli Bahuri secara objektif.
Hal tersebut dimaksudkan supaya tidak ada lagi pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran etik nantinya.
"Apakah Dewas masih bisa kita harapkan untuk bersikap objektif dan tegas di dalam memeriksa kasus pelanggaran etik yang dilakukan Firli kali ini," ujarnya.
"Karena kalau saja nanti Dewas tidak menyidangkan kasus Firli dengan benar, adil dan tidak memberi sanksi yang tegas, maka jangan heran jika terjadi pelanggaran etik selanjutnya. Jadi ini yang harus diperhatikan oleh Dewas," tegasnya.
Baca Juga: Mantan Pimpinan KPK Desak Firli Bahuri Mundur, KSP: Itu Sama Saja Kebencian terhadap Lembaga Negara
Seperti diketahui, pelanggaran etik di KPK sebelumnya dilakukan Lili Pintauli Siregar pada 2021 silam, di mana saat itu dirinya merupakan Wakil Ketua KPK.
Kala itu, Lili dilaporkan dengan dua pelanggaran etik karena terlibat dalam dugaan suap penanganan perkara korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Pertama, Lili terbukti menghubungi dan menginformasikan perkembangan penanganan kasus Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial.
Kedua, Lili juga terbukti memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan Syahrial guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya, Ruri Prihatini Lubis, di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.
Dalam pelanggaran etik tersebut, Majelis Etik Dewas KPK menghukum Lili dengan sanksi berupa pemotongan gaji 40 persen selama 12 bulan.
Pada awal April 2022, Lili kembali dilaporkan ke Dewas KPK karena diduga menerima gratifikasi berupa tiket dan fasilitas hotel saat digelarnya MotoGP Mandalika.
Namun, saat sidang etik bergulir, Lili mengundurkan diri dari posisinya sebagai pimpinan KPK. Hal itu membuat Dewas KPK tidak bisa meneruskan persidangan, sehingga kasus tersebut kemudian dinyatakan gugur.
Tak hanya Lili, Ketua KPK Firli Bahuri juga berulang kali dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik.
Di antaranya, dugaan pelanggaran kode etik karena naik helikopter mewah saat melakukan kunjungan ke Sumatera Selatan pada 20 Juni 2020 lalu. Dalam kasus ini Dewas hanya memberikan sanksi ringan dengan memberikan teguran tertulis kepada Firli.
Firli juga sempat dilaporkan ke Dewas buntut dari tidak lolosnya Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK lainnya dalam tes wawasan kebangsaan (TWK). Namun Dewas menolak laporan tersebut karena tidak cukup bukti.
Yang terbaru, pada awal April 2023, Firli dilaporkan sejumlah pihak ke Dewas terkait dugaan pelanggaran etik ihwal pemberhentian Brigjen Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK.
Tak hanya itu, Firli kembali dilaporkan ke Dewas karena diduga terlibat pembocoran dokumen menyerupai hasil penyelidikan dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Baca Juga: Soal Pelanggaran Pimpinan KPK, Pukat UGM: Presiden Bisa Imbau Usut Pelanggaran Etik dan Pidana
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.