JAKARTA, KOMPAS.TV - Jurnalis Narasi korban peretasan M. Akbar Wijaya mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (10/2/2023).
Gugatan tersebut dilayangkan Akbar untuk mendapatkan penjelasan dari sejumlah pihak, yakni Telkomsel, Telegram dan WhatsApp atas dugaan perbuatan melawan hukum yang dialaminya.
“Bagi saya, gugatan ini adalah satu pesan kepada siapa pun di republik ini untuk tidak boleh merasa memiliki impunitas saat melakukan hal-hal yang melawan hukum,” kata Akbar dalam rilis yang diterima Kompas TV.
Akbar menuturkan bahwa peretasan yang kerap dialami para jurnalis maupun aktivis seringkali tidak terselesaikan.
Hal ini menunjukkan sikap abai aparat maupun negara terhadap perlindungan privasi warganya yang telah dijamin dan diatur dalam undang-undang maupun konstitusi.
“Kita tahu bahwa kasus peretasan yang dilakukan oleh wartawan dan aktivis sudah sering terjadi. Sering juga kasus itu tidak terselesaikan sebagaimana mestinya,” tuturnya.
Lebih lanjut, Akbar juga mengungkapkan bahwa peretasan yang dialaminya sempat berdampak terhadap kondisi psikologisnya dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Apalagi, dalam kasus peretasan kerap berujung pada pelanggaran privasi berupa doxing di media sosial.
Baca Juga: Jangan Buka Link dan Unduh Aplikasi Sembarangan, Itu Modus Baru Penipuan dan Peretasan Ponsel!
Menurut Akbar, tidak terselesaikannya kasus-kasus peretasan yang dialami para jurnalis dan aktivis membuat para korban akhirnya putus asa dan akhirnya memaklumi apa yang dialami.
“Kecemasan kita akhirnya pudar menjadi semacam pemakluman. Ada semacam lelah kita bertanya yang kemudian tidak ada progres,” tegas Akbar.
Kuasa hukum Akbar dari Haris Azhar Law Office, M. Al Ayyubi Harahap menjelaskan bahwa kasus peretasan yang dialami Akbar tidak bisa dilepaskan dalam konteks kerja jurnalistik yang ia lakukan.
Menurutnya, kasus semacam ini biasanya terjadi untuk memberi teror terhadap kerja-kerja wartawan.
“Perlu juga dilihat kerja-kerja wartawan yang sering mempublikasi kasus-kasus yang harusnya diketahui oleh publik, tetapi berujung ancaman teror yang dialami oleh wartawan,” kata Ayyubi.
Ayyubi menambahkan, independensi kerja-kerja jurnalistik seharusnya tidak boleh diganggu oleh siapa pun dengan alasan apa pun.
“Peretasan yang dialami Akbar selaku wartawan Narasi adalah ancaman terhadap kerja-kerja wartawan,” ucapnya.
Baca Juga: Situs FT UGM Diretas, Hacker Beri Pesan Website Anda Tak Baik-baik Saja, Seperti Aku...
Dalam kasus peretasan ini, Telkomsel, Telegram dan WhatsApp menjadi tiga pihak yang digugat.
Ayyubi menjelaskan, gugatan ini dilakukan setelah upaya mediasi dengan pihak Telkomsel untuk meminta penjelasan komprehensif mengenai peretasan yang terjadi tidak membuahkan hasil.
Alih-alih memberikan keterangan, pihak Telkomsel justru melemparkan persoalan ke pihak WhatsApp.
“Saya pikir respon itu seperti melempar bola dan cuci tangan soal masalah keamanan dalam perusahaan mereka. Artinya mereka gagal memberikan keamanan pada konsumen mereka,” tutur Ayyubi.
Fandi Danisatria dari Haris Azhar Law Office menjelaskan pula, gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditujukan kepada PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) selaku penyedia layanan seluler yang digunakan kliennya.
Sebagai konsumen, kata Fandi, mestinya Akbar menguasai penuh berbagai layanan yang disediakan.
Akan tetapi kenyataannya, Akbar ter-logout dari akun WhatsApp-nya dan tidak bisa login kembali dengan nomor Telkomsel yang ia miliki.
“Kenapa ada pihak lain yang menguasai nomor itu? Siapa yang memberikan akses untuk itu? Nah, untuk mengetahui izin akses itu adalah perusahaan Telkomsel itu,” ujar Ayyubi.
Baca Juga: Akun Instagram KPU Provinsi Bali Diretas
Ia mengatakan, penguasaan nomor Telkomsel milik Akbar oleh pihak lain jelas merugikan kliennya dan mengancam privasinya sebagai konsumen maupun wartawan.
“Nah, karena adanya penggunaan oleh orang lain dari nomer Akbar, ini telah merugikan karena ada data pribadi dalam nomor itu, ada informasi pribadi yang seharusnya dijaga oleh PT. Telkomsel,” tegasnya.
Selain ke Telkomsel, gugatan juga ditujukan ke WhatsApp dan Telegram selaku penyedia layanan pesan.
Ketua LBH Pers Ade Wahyudi mengatakan, kasus pelaporan kekerasan fisik ataupun digital yang dialami awak media sering kali berjalan lambat dan bahkan berhenti setelah tahap pelaporan dan pemanggilan pelapor.
Ia mencontohkan, sebelum melakukan gugatan perdata, redaksi Narasi telah melakukan aduan ke pihak kepolisian terkait kasus serangan siber yang dialami 37 jurnalis dan situs Narasi.
“Tapi secara faktanya, hal ini masih stuck, belum ke mana-mana kasusnya,” kata Ade.
Ade mengatakan, mandeknya penyelesaian kasus peretasan terhadap jurnalis maupun aktivis membuat banyak korban enggan untuk melapor.
Ade mengatakan pihak kepolisian kerap berdalih kesulitan mencari pelaku peretasan terhadap jurnalis atau aktivis.
Baca Juga: Bjorka Diduga Retas 44 Juta Data dari Aplikasi MyPertamina! Apa Langkah Pemerintah?
Namun di sisi lain, mereka bisa begitu cepat memproses kasus pelanggaran digital yang menimpa lembaga negara ataupun kepolisian.
“Kenapa serangan kepada lembaga pemerintah dan non-jurnalis itu lebih cepat, kenapa giliran jurnalis ini jadi lambat? Ini jadi pertanyaan besar soal apakah sebenarnya mampu mengungkap serangan siber seperti ini," kata Ade.
Ade menyatakan, gugatan Akbar menjadi penting untuk membongkar fakta-fakta tentang peristiwa yang terjadi dalam ruang peradilan yang sah.
Dengan ini, gugatan tersebut dapat jadi dorongan keamanan bagi jurnalis lainnya.
“Saya pikir ini juga menjadi hal yang menarik untuk kita dorong sehingga nanti terbuka fakta-faktanya, kemudian ujungnya adalah model-model keamanan untuk teman-teman jurnalis,” jelasnya Ade.
Dalam laporan tersebut, para tergugat diduga melakukan perbuatan melanggar hukum yang tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Selain itu juga ada pelanggaran pasal 154 Permenkominfo No. 5 Tahun 2021 yang menegaskan bahwa setiap nomor MSISDN hanya bisa dimiliki oleh satu orang pemilik sehingga tidak seharusnya bisa diakses oleh orang lain.
Termasuk pula pasal 7 huruf b UU No. 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen yang menyatakan kewajiban pemberian informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang/jasa konsumen serta pasal 7 huruf f UU Perlindungan Konsumen.
Baca Juga: Menkes Budi Pastikan Data yang Diretas Bjorka Bukan dari PeduliLindungi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.