JAKARTA, KOMPAS.TV – Menjelang perhelatan politik tahun 2024, partai politik (parpol) boleh mencoba menarik simpati warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk meraup suara.
Pernyataan itu disampaikan oleh Alissa Wahid selaku Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (7/2/2023).
“Kalau warga NU diberikan keleluasaan untuk memilih, maka kami meyakini bahwa siapa pun boleh dong berusaha untuk menarik simpati warga NU, karena itu terserah pada warga NU sendiri,” tuturnya.
Menurutnya, menarik simpati warga NU sangat berbeda dengan menarik simpati PBNU secara organisasi.
“Sangat berbeda menarik simpati PBNU dengan menarik simpati warga NU. Jadi kalau menarik simpati warga NU dipersilakan, itu boleh-boleh saja, sepanjang tidak atas nama NU,” tegasnya.
Baca Juga: Pengamat Sebut Perlu Kiai Senior untuk Islah PBNU dan PKB, Agar Gesekan Tak Meluas
Dalam dialog itu, Alissa juga menjelaskan bahwa PBNU tidak akan terlibat dalam politik praktis, dan hal itu menurut dia sudah berulang kali disampaikan oleh Ketua Umum PBNU Yahya Staquf.
“Sebetulnya bukan hanya kali ini saja Ketua Umum PBNU menyampaikan hal ini (tidak berpolitik praktis).”
“Dari sejak beliau menerima mandat sebagai ketua umum, beliau sudah mengatakan bahwa PBNU ini harus kembali kepada khitahnya untuk berpolitik luhur, berpolitik kebangsaan,” tegasnya.
Menurut Alissa, yang menjadi urusan NU adalah tentang Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa.
Sementara, dengan berpolitik praktis, akan membuat warga NU harus berseberangan dengan kelompok lain.
“Misalnya, kalau warga NU mendukung calon A di pilkada, maka secara otomatis dia harus melihat yang lain, pendukung calon yang lain sebagai saingan.”
“Karena itu, warga NU itu dibuka peluangnya untuk mendukung siapa saja, karena itu adalah politik praktis,” tuturnya.
Namun, lanjut dia, Nahdlatul Ulama yang harus terus diingatkan oleh NU adalah hal yang menjadi perjuangan para kandidat.
“Misalnya kalau sekarang kita sering mendengar ketua umum menyerukan berulang-ulang, tidak boleh ada politik identitas.”
“Jadi, sekali lagi, tidak berpolitik praktis. Warga NU boleh mendukung siapa saja tapi secara pribadi, tidak atas nama NU,” tegas dia.
Hal ini, menurut Alissa, konsisten dilakukan oleh Ketum PBNU, yakni dalam menyusun pengurus di PBNU, yang terdiri dari sejumlah tokoh berlatar belakang parpol berbeda-beda.
“Ini juga konsisten dilakukan oleh ketum sendiri, di mana kepengurusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu di dalamnya banyak sekali orang dengan latar belakang partai yang berbeda-beda.”
Ia berharap, dengan hal-hal itu, menjelang tahun politik 2024, NU dapat menjadi lebih lentur dan terbuka, tidak terjebak pada sebatas dukung-mendukung.
Baca Juga: Peringatan Satu Abad NU Bukan Sekedar Kumpul-kumpul, Sekjen PBNU: Kita Mengharap Keberkahan Raksasa
“Harapan kami, tentu saja di tahun 2023 menjelang 2024 akan membuat NU menjadi lebih lentur, lebih terbuka, dan tidak terjebak pada sebatas dukung mendukung,” tegasnya.
“Tetapi lebih fokus pada hal-hal yang lebih fundamental, lebih substansial, seperti politik identitas, demokrasi itu sendiri, menjaga pemilu berjalan dengan baik.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.