JAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, ada 4 persoalan korupsi politik yang mengakibatkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia terpuruk.
Demikian peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada KOMPAS TV, Rabu (1/2/2023).
“Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini gencar memberantas korupsi politik justru dilemahkan oleh Presiden Joko Widodo melalui perubahan Undang-Undang (UU) KPK,” ucap Kurnia Ramadhana.
“Tidak cukup itu, Presiden juga membiarkan figur-figur bermasalah memimpin lembaga antirasuah. Sekalipun ada yang ditindak, misal, Juliari P Batubara dan Edhy Prabowo, namun penuntasan perkara itu masih menemui jalan buntu. Sehingga wajar saja jika responden yang terlibat dalam pengumpulan data untuk penilaian IPK menaruh rasa pesimis terhadap pembenahan sektor politik.”
Kedua, sambung Kurnia, ICW mencermati sikap pemerintah melalui menteri-menteri di dalam Kabinet Indonesia Maju yang cenderung permisif terhadap kejahatan korupsi.
Sebagai contoh, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan disebutnya sempat berulang kali mengomentari mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan kalimat destruktif.
Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi 2022 Anjlok, ICW: Tidak Salah Indonesia Disimpulkan Negara Korup
“Momen lain diperlihatkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang mana beberapa waktu lalu, dalam kutipan sejumlah pemberitaan, meminta kepada aparat penegak hukum untuk tidak menindak kepala daerah, melainkan fokus pada pendampingan,” kata Kurnia.
“Pernyataan-pernyataan semacam ini tentu menunjukkan sikap yang berseberangan dengan harapan atas perbaikan pemberantasan korupsi.”
Kemudian yang ketiga, regulasi yang sejatinya merupakan produk politik antara presiden dan DPR tidak kunjung mendukung penguatan pemberantasan korupsi.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, undang-undang yang diundangkan tak lebih dari sekadar upaya untuk semakin mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.
“Mulai dari KUHP, UU Pemasyarakatan, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan UU Minerba. Segala yang diucapkan oleh pembentuk UU berkaitan dengan pemberantasan korupsi terbukti hanya ilusi, tanpa ada langkah konkret,” ujar Kurnia.
“Begitu pula Presiden, janji politik saat kampanye tahun 2014 maupun 2019 dilupakan begitu saja seiring dengan menguatnya lingkaran kepentingan politik.”
Baca Juga: Mahfud MD: Hakim Sidang Ferdy Sambo Cs Tak akan Terpengaruh Tipuan dan Jebakan, Saya Kenal
Lalu keempat, pemerintah dan DPR terbilang gagal menciptakan kepastian hukum untuk menjamin gelaran pesta demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai integritas.
Sebagaimana diketahui, pada dasarnya UU Pemilu dan UU Pilkada masih memperbolehkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif.
“Sekalipun sudah ada putusan MK yang melarangnya dengan skema pembatasan waktu jeda lima tahun, namun dapat dilihat bahwa sikap pemerintah dan DPR sebenarnya masih menginginkan mereka dapat kembali berkompetisi,” kata Kurnia.
“Sebab, perubahan ketentuan itu bukan berasal dari pembentuk UU, melainkan karena putusan MK. Situasi terkini, terbukti pembentuk UU juga tidak merevisi UU Pemilu untuk klausul calon anggota DPD RI yang mana masih memperbolehkan mantan terpidana korupsi mendaftarkan diri. Hal ini tentu bertolak belakang dengan narasi pemerintah yang kerap kali menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai pijakan utama,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.