JAKARTA, KOMPAS.TV - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja, telah mengundang kontroversi.
Salah satunya mengenai kegentingan dan substansi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai kegentingan penerbitan Perppu Cipta Kerja dilihat dari masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak cukup untuk membuat Undang-Undang (UU).
Menurut Yusril, jika pemerintah membuat UU lagi dan dilanjutkan oleh pemeritahan selanjutnya, perlu waktu sekiranya dua tahun agar UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR.
Baca Juga: Mahfud MD: Perppu Cipta Kerja Dibuat karena Situasi Ekonomi Global
Sementara waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki UU Cipta Kerja hanya dua tahun dengan batas waktu pada 25 November 2023.
"Kalau bentuknya UU diserahkan ke DPR perlu waktu satu tahun, pemerintah masih tersisa kurang dari satu tahun untuk menyelesaikan masalah yang didasarkan pada masalah UU Cipta Kerja yang diuji MK," ujar Yusril dalam program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Kamis (12/1/2023).
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Refly Harun, menilai seharusnya dari 1.117 halaman dan 186 pasal pada UU Cipta Kerja, pemerintah memisahkan yang sifatnya genting dan mana yang bisa diselesaikan dengan aturan normal, atau UU.
"Kalau kita berbicara kegentingan yang memaksa, memang ukuran pastinya tidak ada. Tapi pasti ada rasionalitasnya. UU itu 1.117 halaman. Kira-kira mana yang genting, mana yang kira-kira dengan legislasi normal saja," urai Refly.
Dia juga menilai Perppu Cipta Kerja malah lebih mundur dari UU Cipta Kerja dalam bidang partisipasi masyarakat.
Baca Juga: Keberpihakan DPR Bakal Diuji dalam Pengesahan Perppu Cipta Kerja
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.