JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo menerima dan mengakui terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam berbagai peristiwa di Tanah Air.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Presiden usai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 11 Januari 2023.
Ada 12 peristiwa yang disebut. Dimulai sejak peristiwa 1965-1966 hingga Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Dari sederet peristiwa itu, salah satunya adalah Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985. Penembakan misterius atau Petrus merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia, karena telah mengadili seseorang tanpa melalui proses hukum.
Baca Juga: Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Amnesty: Tanpa Pertanggungjawaban Hukum, Tiada Artinya
Pelanggaran hak asasi yang dilakukan dalam Petrus adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, dan lain-lain.
Dikutip dari Kompas.com, pada 1983, tercatat sebanyak 532 orang tewas dan 367 di antaranya tewas karena luka tembak, diduga korban penembakan misterius.
Kemudian, pada 1984, ada 107 tewas, dan pada 1985 sejumlah 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas karena ditembak.
Bagaimana peristiwa ini bermula?
Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia kala itu, Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani atau akrab dipanggil Benny Moerdani, mulanya menyalahkan kasus pembunuhan ini sebagai perkelahian antargeng. Dia tak mengakui bahwa ada tangan tentara dan polisi dalam aksi menumpas para preman jalanan itu.
"Sejauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi penjahat yang ditangkap," kata Benny, seperti dikutip dari buku Benny Moerdani Yang Belum Terungkap.
Namun, belakangan, diakui ada campur tangan pemerintah di balik Petrus. Presiden kedua Soeharto dalam autobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menyatakan Petrus ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada penjahat.
"Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak," ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu.
Namun karena mendapat tekanan internasional, pada 1985, Petrus diakhiri.
Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM yang dirilis pada 2012 silam, para pelaku Petrus terdiri dari aparat militer dan sipil. Aparat militer seperti Koramil, Kodim, Kodam/Laksusda dan Garnizun. Mereka adalah pelaku yang melaksanakan perintah jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia (Pangkopkamtib).
Lembaga tersebut, menurut Ketua Tim Penyelidikan Yosep Stanley Adi Prasetyo, berada di bawah komando dan pengendalian presiden.
Menurut Stanley, korban penembakan misterius ini terdiri dari dua kelompok. Pertama, mereka yang dikategorikan sebagai preman atau mantan residivis. Kedua, adalah orang yang salah tangkap, bahkan petani yang menolak digusur tanahnya oleh pemerintah, turut pula menjadi korban Petrus.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat ini harus disidik oleh Kejaksaan Agung. Tetapi dokumen dan rekomendasi Komnas HAM berlalu begitu saja. Jadi siapa yang paling bertanggung jawab? "Ya, Benny Moerdani," kata Stanley, Wakil Ketua Komnas HAM saat itu.
Baca Juga: Komnas Ham Rilis 8 Kasus Pelanggaran Ham di Papua Dan Papua Barat
Tapi, sang jenderal bertampang dingin kelahiran 2 Oktober 1932, di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, itu sudah meninggal pada 29 Agustus 2004 silam, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta. Jejak pelanggarannya yang banyak disebut di masa itu, terkubur bersama jasadnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.