JAKARTA, KOMPAS.TV - Epidemiolog Dicky Budiman menyarankan Indonesia untuk memperketat pintu masuk negara menyusul terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, China, dan Brasil.
Pengetatan yang dimaksud ialah membangun prosedur standar yang menjamin setiap pelancong yang akan masuk ke Indonesia bebas virus, bakteri, atau patogen tertentu yang membahayakan.
"Pengetatan pintu masuk negara tidak boleh hanya mengarah ke satu atau dua negara, tapi sifatnya harus ada mekanisme atau prosedur yang bisa menjamin siapa pun yang masuk ke Indonesia tidak membawa patogen, virus, bakteri, atau biological substance, itu sistem yang harus dibangun," kata Dicky kepada KOMPAS.TV, Kamis (5/1/2023).
"Jadi jangan diartikan sistem pengetatan ini hanya ditujukan untuk satu negara atau hanya diberlakukan sesaat, tidak, harus terus-menerus," ujarnya.
Menurut periset di Universitas Griffith Australia itu, orang yang masuk ke Indonesia sebaiknya melewati prosedur khusus, misalnya harus sudah mendapatkan vaksin booster atau tes RT-PCR.
Ia menerangkan, riset menunjukkan efektivitas prosedur di bandara atau pintu masuk negara hanya akan efektif apabila sistem kesehatan di dalam negeri juga kuat.
"Dalam hal ini tentu modal imunitas," tegasnya.
"Jadi yang harus dibangun adalah sistem yang bisa menyaring apapun yang berpotensi berbahaya dan belum terdeteksi."
Baca Juga: Vaksin Covid-19 Gratis untuk Bayi dan Anak: Ini Hak Dasar Warga Negara
Ia pun mengingatkan, vaksinasi booster penting untuk memperkuat imunitas masyarakat di dalam negeri.
"Vaksin booster meningkatkan proteksi imunitas baik kuantitatif maupun kualitatif," ungkapnya.
Ketika seseorang telah mendapatkan vaksin booster, kata dia, tubuh akan memberikan perlindungan terhadap virus yang semakin kompleks atau bermutasi.
Orang yang sudah memperoleh vaksin booster pun akan mengalami gejala yang jauh lebih ringan ketika terserang Covid-19.
"Tapi ingat, itu jangan sampai diartikan membiarkan diri terinfeksi," tuturnya.
"Jangan sampai salah anggapan, (sehingga) membiarkan diri terinfeksi dan menganggap infeksi Covid-19 biasa, karena tahun 2023 ini ancamannya adalah penurunan kualitas kesehatan."
Ia mengatakan sebanyak 20 persen penyintas Covid-19 berpotensi mengalami long covid atau dampak jangka panjang dari penyakit yang disebabkan oleh virus Corona itu.
"Jadi yang akan kita hadapi sekarang tantangannya adalah kasus diabetes yang akan lebih banyak, mungkin stroke, hipertensi, mungkin juga gangguan di syaraf atau otak, dan sebagainya, ini yang akan dihadapi oleh negara ini kalau infeksi dibiarkan," jelasnya.
Baca Juga: Epidemiolog Ungkap Petaka Lonjakan Covid-19 di China meski Banyak yang Sudah Vaksin
Oleh karena itu, ia mengingatkan perlunya strategi kesehatan masyarakat Indonesia untuk membangun deteksi dini terhadap subvarian baru Omicron.
Ia menerangkan melonjaknya kasus Covid-19 di sejumlah negara dapat memunculkan subvarian baru yang lebih mudah menginfeksi atau pun menginfeksi ulang.
"Yang saya khawatirkan atau perlu dimitigasi adalah lahirnya subvarian atau varian baru (virus Corona) mungkin satu bulan ke depan, akibat infeksi yang begitu banyak, potensi itu tetap ada," kata peneliti Global Health Security di Universitas Griffith itu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.