YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Dua pengamat transportasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menanggapi petisi tentang permintaan sebagian penduduk untuk work from home (WFH) atau kerja dari rumah.
Pada Jumat (6/1/2023) pagi ini pukul 05.30 WIB, petisi berjudul "Kembalikan WFH sebab Jalanan Lebih Macet, Polusi, dan Bikin Tidak Produktif" itu telah ditandatangani oleh 19.460 orang di situs change.org.
Menanggapi petisi tersebut, pengamat transportasi UGM Prof. Ahmad Munawar menyebutkan bahwa WFH bukan solusi untuk mengatasi persoalan kemacetan transportasi di Jakarta.
Ia menyebut, kemacetan bisa diselesaikan dengan penyediaan fasilitas angkutan umum yang memadai serta pengurangan kendaraan pribadi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
“Kalau penyelesaian macet itu dengan sistem transportasi yang baik dan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi,” kata Prof. Ahmad, Kamis (5/1/2023) dilansir dari laman UGM.
Prof. Ahmad mengungkapkan bahwa penggunaan angkutan umum terbaik ada di DKI Jakarta.
Transportasi umum di Ibu Kota tergolong lengkap mulai dari MRT, Trans Jakarta, ada integrasi dan keterpaduan angkutan umum di Jakarta dengan kabupaten kota di sekitarnya.
“Jakarta itu sudah terbaik dalam penggunaan angkutan umumnya, tapi karena jumlah penduduknya yang sedemikian banyak sehingga perlu diperbaiki lagi," jelasnya.
"Persentase penggunaan angkutan umum di Jakarta termasuk tinggi, tetapi banyak yang tinggal di luar Jakarta sehingga perlu penambahan angkutan umum dan susbsidi yang tinggi,” imbuhnya.
Menurutnya, kebijakan WFH atau kerja dari kantor (work from office/WFO) sebaiknya tidak ditetapkan sama rata di setiap sektor.
Baca Juga: Ramai Petisi Kembalikan WFH, Heru Budi Serahkan ke Masing-Masing Perusahaan
Sebaiknya, pengaturan kebijakan sistem kerja dilakukan oleh instansi masing-masing disesuaikan dengan jenis pekerjaan maupun kondisi pegawainya.
Ia mencontohkan di sektor pendidikan. Berdasarkan pengalamannya mengajar selama pandemi, ia merasakan pembelajaran berjalan kurang efektif dengan WFH menggunakan sistem online.
Ada hal-hal yang tidak tercapai dengan maksimal saat dilakukan secara online seperti interaksi dan diskusi antara dosen dengan mahasiswa.
Namun, saat pembelajaran kembali dilakukan di kampus pembelajaran berlangsung lebih efektif, interaksi berjalan dengan baik, sehingga kemampuan mahasiswa berdiskusi sangat tinggi.
“Harus dilihat kalau bisa efisien dan efektif WFH ya silakan, tapi kalau tidak ya kerja di kantor,”terangnya.
Sementara itu, pengamat tata rancang kota sekaligus Ketua Pusat Studi Transportasi (PUSTRAL) UGM Ikaputra, Ph.D., menilai petisi Kembalikan WFH cukup logis.
Pasalnya, selama pandemi Covid-19 banyak pihak terutama pekerja kantoran yang merasakan sejumlah manfaat WFH.
Akan tetapi, ia juga menyoroti sejumlah sektor, termasuk transportasi, yang tidak produktif selama sistem WFH diterapkan.
Baca Juga: Pengamat Transportasi Sebut WFH Bukan Solusi Atasi Kemacetan Jakarta, Ini Alasannya
“Namun, juga perlu dipahami ada banyak sektor termasuk transportasi yang tidak bergerak dan tidak produktif terutama yang bekerjanya harus bertatap muka dan memanfaatkan mobilitas, bukan kantoran. Ketika tidak bergerak, di rumah saja, ada banyak orang yang tidak mendapatkan penghasilan,” ungkapnya, Kamis (5/1).
Dosen pada Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM ini menyampaikan bahwa persoalan yang sebenarnya bukanlah pada kebijakan WFH atau WFO.
Namun, lebih ke arah bagaimana menggunakan sistem komunikasi yang memudahkan orang-orang berkegiatan dalam berbagai aspek kehidupan.
“Bukan WFH atau WFO tapi pengelolaan tentang komunikasi online atau offline ini yang lebih penting, semuanya harus jadi opsi,” tegasnya.
Lalu, terkait kemacetan di Jakarta karena kembalinya sistem kerja dengan WFO, Ikaputra mengatakan hal tersebut bisa ditekan apabila masyarakat memiliki kesadaran dan kemauan untuk memanfaatkan transportasi publik sebagai wahana transportasi menuju tempat kerja ataupun menjalani aktivitas lainnya.
Ia menilai, masih banyak masyarakat di Jakarta yang memilih menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat mobilitas sehari-hari daripada memakai transportasi publik.
“Untuk itu penting membangun mindset dan budaya memahami keuntungan menggunakan transportasi publik itu banyak manfaatnya,” ujarnya.
Sebagaimana telah diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, petisi yang dibuat oleh seorang warga bernama Riwaty Sidabutar menyebutkan bahwa penerapan kembali kebijakan WFO hanya akan menimbulkan kemacetan.
Selain itu, ia menilai sistem WFO belum tentu membuat karyawan dapat bekerja produktif.
Ia pun menuliskan pengalamannya sehari-hari yang harus menempuh jarak 40 km untuk menuju kantor.
"WFO juga belum tentu membuat kita lebih produktif. Karena lamanya perjalanan, saya malah jadi lebih lelah, dan hasil pekerjaan tidak sebagus ketika saya bekerja dari rumah. Di rumah, saya merasa lebih percaya diri, lebih aman, dan juga merasa lebih nyaman," tulis Riwaty.
Sumber : Kompas TV/ugm.ac.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.