JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengkritik munculnya wacana sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 mendatang.
Sebab, menurut dia, wacana tersebut merugikan rakyat sebagai pemegang hak dalam menentukan calon anggota legislatif (caleg) atau wakilnya di DPR.
Baca Juga: Ramai Parpol di DPR Tolak Sistem Pemilu Proposional Tertutup yang Sempat Diusulkan PDIP
"Padahal dengan sistem proporsinal tertutup tersebut, artinya pemilu hanya dilaksanakan untuk memilih partai politik peserta pemilu," kata Hidayat melalui keterangan resminya, Senin (2/1/2023).
Saat ini, judicial review atau uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah diajukan ke MK.
Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, kata dia, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pemilihan legislatif (pileg).
Baca Juga: PKB Sebut Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Sempat Diusulkan PDIP
Karena itu, ia menambahkan, rakyat tidak lagi bisa memilih langsung nama caleg pilihannya yang ia percaya jika sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup.
Adapun penentuan caleg yang terpilih untuk menjadi anggota legislatif kemudian diserahkan kepada partai politik.
Hal inilah yang membuatnya khawatir, karena dimungkinkan sebagian partai belum melakukan transparansi dan kaderisasi yang baik untuk menghadirkan kader-kader partai berkualitas sebagai wakil rakyat.
"Bak 'memilih kucing dalam karung', karena tidak memilih nama calon anggota legislatif yang dikenal atau dipercaya untuk mewakilinya di lembaga parlemen di tingkat nasional maupun daerah," ucap Hidayat.
Baca Juga: Partai Ummat Besutan Amien Rais Dapat Nomor Urut 24 pada Pemilu 2024
Karena alasan itulah, Hidayat meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan permohonan judicial review (JR) terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebab, kata dia, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945.
"Selain tidak sesuai dengan UUD 1945, juga agar MK konsisten dengan putusan yang sebelumnya dibuat oleh MK sendiri, yaitu mengubah dari sistem proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka," ucap Hidayat.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini mengingatkan, pandangannya terkait hal tersebut sejalan dengan putusan MK sebelumnya, yakni putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang diputus menjelang Pemilu 2009.
Baca Juga: Akhirnya KPU Loloskan Partai Ummat Besutan Amien Rais Jadi Peserta Pemilu 2024
Adapun putusan itu mengubah sistem proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka.
“Putusan ini yang menjadi salah satu acuan bagi pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, untuk menerapkan sistem pemilu terbuka pada pemilu-pemilu berikutnya,” ujarnya.
Adapun gugatan uji materi terhadap sistem pemilu teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Baca Juga: Kontras Desak Jokowi Batalkan Perppu Cipta Kerja: Jangan Sewenang-wenang dan Lari dari Putusan MK
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.