Ia menambahkan, sebelum Kementerian Perdagangan menerbitkan ketentuan HET, minyak goreng masih bisa ditemukan di pasaran, meski dengan harga cukup tinggi.
Mengenai harga yang melambung tinggi itu, kata dia, karena mengikuti harga minyak goreng di pasar dunia. Namun, setelah pemerintah menerbitkan kebijakan HET, minyak nabati itu hilang dari pasar.
“Setelah kebijakan HET dicabut, seketika itu produk minyak goreng kembali ada di pasaran," tutur Master.
Tak hanya itu, Master pun menyoroti tidak adanya lembaga yang mengontrol distribusi minyak goreng, sebagaimana Pertamina yang memiliki wewenang atas bahan bakar minyak (BBM).
Baca Juga: Tergiur Harga Murah, Puluhan Pedagang di Garut Borong Minyak Goreng Malah Tertipu Rp1,9 Miliar
"Negara tidak mengontrol minyak goreng dari hulu, tidak ada perusahaan milik negara yang memproduksi dan memastikan distribusi minyak goreng seperti Pertamina,” kata dia.
Sebelumnya, Jaksa menuntut Majelis Hakim TIpikor menghukum Master 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Tak hanya itu, bos perusahaan sawit tersebut juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 10,9 triliun.
“(Menuntut Majelis Hakim Pengadilan Tipikor) menjatuhkan Pidana tambahan kepada terdakwa Dr. Master Parulian Tumanggor untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 10.980.601.063037,” kata Jaksa membacakan amar tuntutannya, Kamis (22/12/2022).
Baca Juga: Kasus Korupsi Izin Ekspor Minyak Goreng, JPU Tuntut Eks Dirjen Kemendag 7 Tahun Penjara
Master dinilai terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama sehingga menimbulkan minyak goreng langka di pasaran.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.