JAKARTA, KOMPAS.TV - Krisis iklim kian mengancam kota-kota pesisir Asia. Pusat pemerintahan Indonesia, Jakarta, yang menjadi sentra bisnis tak luput dari gejolak iklim ini. Jakarta diprediksi merugi Rp700 triliun.
Greenpeace Indonesia, dalam penelitian “Proyeksi Dampak Ekonomi dari Kenaikan Permukaan Laut Ekstrem di Tujuh Kota di Asia pada tahun 2030" yang dikeluarkan pada Juni 2021, menyebut peningkatan muka air laut berpotensi menenggelamkan 17 persen dari luas total daratan Jakarta. Bencana ini akan memaksa 1,8 juta warga Jakarta mengungsi.
Sebagai pusat sektor logistik dan konstruksi dan penyokong perekonomian Indonesia, Greenpeace menghitung kerugian ekonomi yang akan diderita Jakarta ditaksir mencapai Rp700 triliun.
Bencana ini juga akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia pada 2030 mendatang. Prediksi kerugian perekonomian diperkirakan mencapai USD68 miliar.
“Tentunya kondisi seperti ini akan membawa kerugian yang besar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Mencapai USD68 milliar,” ujar Peneliti Iklim dan Energy Greenpeace Adila Isfandiari.
Baca Juga: Daftar 20 Wilayah Pesisir Ini Berpotensi Banjir Rob, Catat Tanggalnya hingga Awal Januari 2023
Peneliti INDEF, Researcher Center of Food, Energy and Sustainable Development, Dhenny Yuarta membenarkan adanya risiko ekonomi yang besar dalam krisis iklim ini.
“Risiko ini yang cukup besar kalau kita lihat dari hitung-hitungan ekonomi. Memberikan dampak kerugian dan kerusakan, pada tahun 2007 lalu, sebesar Rp5,4 triliun.”
Ada sektor-sektor ekonomi yang akan menjadi dampak dalam krisis iklim, kata Dhenny, khususnya di Jakarta. Pertama, sektor logistik, yang memiliki multiplyer effect yang sangat besar.
Perlu diketahui sektor logistik menyumbang sebesar tiga persen PDRB di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Namun, dari sektor perdagangan yang menjadi area dominan, menyumbang 16 persen terhadap perekonomian negara.
Jika wilayah pendistribusian terhambat dan cakupan area perdagangan akan terhambat pula, maka negara akan kehilangan Rp460 triliun dari PDRB.
Selain itu, ancaman “Jakarta tenggelam” akan berdampak pula terhadap kawasan industri dalam jangka panjang. “Konstruksi (sektor penyedia jasa pembangunan), kalau banjir ini mengadang, ada risiko kerusakan,” ucapnya.
“Konstruksi 11% berdampak Rp300 triliun PDRB. Jika hanya dua sektor yang dihajar ada Rp700 triliun yang terancam di Jakarta. Cukup besar sekali, makanya dampak ini bukan besarnya tapi intensitasnya pada jangka panjang dikhawatirkan cukup serius dan sering,” papar Dhenny.
Dari kerugian ekonomi yang luar biasa jika Jakarta benar-benar tenggelam, menurut Peneliti Geodesi dan Geomatika Institut Teknik Bandung (ITB) Heri Andreas, itu perlu menjadi perhatian pemerintah untuk menangani kenaikan permukaan air laut.
Bila Pemerintah Pusat maupun daerah tak segera mengambil langkah pasti, sekitar 16-18 hektare lahan Jakarta akan tenggelam pada 2050 mendatang.
“Kalau enggak berupaya apa-apa, belasan ribu hektare (akan tenggelam), kerugian ekonominya akan luar biasa (pada) 2050. Sekitar 16-18 ribu hektare modelnya moderat (pengungkapan) atau yang lebih ekstrem. Itu nanti akan sedikit ada di Monas, di daerah Gajah Mada, Gunung Sahari dan Mangga Dua, bisa lebih dari 5 Kilometer (km) dari pantai.”
Baca Juga: Peringatan Dini BMKG: Waspada Banjir Rob di 20 Wilayah Pesisir dari 23 Desember hingga 8 Januari
Ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati turut menanggapi hasil kajian Greenpeace terkait seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap perekonomian.
“Dampak kenaikan air laut dapat menyebabkan Jakarta banjir. Istilahnya sampai benar-benar tenggelam. Kalau lihat daerah yang terdampak laporan Greenpeace, di Jakarta Utara dan Barat. Jakarta Utara, itu pesisir daerah perikanan daerah nelayan ada perdagangan dan pariwisata Ancol dan sekitarnya. Kalau di Jakarta Barat sentra industri dan perdagangan. Kebon Jeruk dan sekitarnya bahkan sampai Tangerang,” ujar Nina.
Menurut Nina, perubahan iklim yang akan “menenggelamkan” Jakarta berdampak terhadap beberapa sektor, khususnya melumpuhkan sektor logistik. Dampak ekonomi akan terasa di industri perikanan, pedagangan, dan transportasi jalan tol dan jalan utama mematikan arus pedagangan.
Hal ini merupakan pekerjaan rumah yang harus ditangani pemerintah. Nina menyarankan pemerintah perlu mencontoh pemerintahan negara lain dalam penanganan banjir.
“Kita bisa lihat contoh Amsterdam, mengantisipasi supaya tidak banjir. Ada teknologi yang dibereskan,” pungkasnya.
Belanda belajar menanggulangi banjir dari pengalaman terjangan air Laut Utara yang menerobos tanggul pada tahunan 1953. Tragedi tersebut menelan 8.361 korban jiwa dan menggenangi 9 persen lahan pertaniannya. Otoritas Belanda segera merancang serangkaian mega proyek konstruksi yang dibangun untuk melindungi kawasan di sisi barat daya negeri itu dari bahaya banjir atau pun air pasang laut yang dikenal sebagai “Delta Work”.
Berdasarkan data Water Technology, proyek Delta Works meliputi pembangunan 13 bendungan, dengan konstruksi pintu air, pengunci, dan tanggul yang berfungsi sebagai pelindung daerah sekitaran delta sungai Rhine, Meuse, serta Scheldt dari banjir Laut Utara.
Proyek ini menelan anggaran USD5 miliar dan terselesaikan pada 1997. Selain itu megaproyek itu dapat menjadi sumber air minum segar dan irigasi. Delta Work dapat menekan risiko banjir selama 4.000 tahun ke depan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.