JAKARTA, KOMPAS.TV - Visum et repertum dibutuhkan untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana kekerasan seksual.
Namun dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan salah satu terdakwa yakni Putri Candrawathi atau PC ternyata tidak melakukan visum.
Mantan Hakim Mahkamah Agung Gayus Lumbuun menyatakan visum merupakan syarat mutlak untuk mengetahui telah terjadi peristiwa.
Menurut Gayus dalam pertimbangannya hakim akan melihat pandangan dari ahli kriminologi dan keterangan dari korban.
Namun jika melihat peristiwa dengan kacamata hukum, tentu syarat terpenuhinya dugaan tindak pidana harus terpenuhi sebagai kelengkapan analisis yuridis.
Baca Juga: Soal Motif Pelecehan Seksual Putri, Ahli Pidana: Tak Semua Korban Pemerkosaan Berani Lapor dan Visum
"Harus ada visum itu hukum, satu syarat yang mengharuskan adanya sarana untuk dapat diketahui kekerasan seksual," ujar Gayus di program Kompas Malam KOMPAS TV, Kamis (22/12/2022).
Gayus menambahkan visum merupakan sarana, tapi ada kalanya visum et repertum dari kedokteran sulit untuk dilakukan lantaran korban mempunyai penderitaan yang lengkap.
Ini merupakan permasalahan tersendiri dari sisi korban. Sebaliknya dari sisi analisis kriminologi dapat mendalami perbuatan yang dilakukan pelaku serta pandangan viktimologi hubungan korban dengan pelaku.
Tapi Gayus mengingatkan korban bisa melakukan visum setelah siap untuk melakukan pemeriksaan.
Baca Juga: Ahli Kriminologi Heran, Ferdy Sambo Tidak Lakukan Upaya Visum Pada Istrinya
"Visum et repertum, pendapat kriminologi dan viktimologi merupakan kelengkapan untuk memastiakan siapa yang berbuat, kenapa dia melakukan dan kenapa tidak melakukan, itu analisis yuridisnya," ujar Gayus.
Terkait dengan motif Gayus menekankan dalam dakwaan disebutkan adanya perencanaan pembunuhan. Dalam perkara ini motif dapat dikesampingkan dan lebih mendalami rencana pelaku untuk melakukan tindak pidana.
"Kalau bicara perencanaan tidak perlu motif. Merencana dengan persiapan itu sudah berencana. Kalau bicara hukum cukup lama dari Magelang ke Jakarta, tidak begitu waktu lama untuk spontan marah," ujarnya.
Sebelumnya, Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mahrus Ali yang dihadirkan tim kuasa hukum keluarga Ferdy Sambo berpendapat tidak adanya visum bukan berarti dugaan perkosaan terhadap korban tidak terjadi.
Baca Juga: [FULL] Jaksa Tanyakan Hal ini ke Ahli Pidana Ringankan Ferdy Sambo..
Ahli menjelaskan dalam perspektif viktimologi korban kekerasan seksual itu tidak semuanya punya keberanian untuk melapor ada yang beranggapan peristiwa tersebut dapat menimbulkan aib.
Upaya yang bisa dilakukan untuk membuktikan benar tidaknya ada kekerasan seksual bila tidak ada visum, yakni melakukan tes psikologi kepada korban.
Dosen UII juga menyatakan motif penting untuk dibuktikan dalam membuat keputusan atau kehendak seseorang untuk memutuskan sesuatu.
Menurutnya dalam peristiwa kekerasan seksual yang menjadi klaim motif pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo tentunya harus dapat dibuktikan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.