Setelah beberapa bulan tinggal di Jatinegara, kemudian pindah lagi ke Bogor, di sekolah swasta yang dibina oleh Sarekat Islam. Di situ pun satu keluarga mendapat satu ruangan yang keadaanya lebih buruk dari ruangan di rumah Jatinegara.
Padahal, sosok Agus Salim kala itu, sudah sangat dikenal sebagai tokoh pergerakan dan pemimpin Sarekat Islam. Banyak tokoh berguru padanya, termasuk Presiden Soekarno.
Pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan, dia juga dikenal sebagai pemimpin Harian Hindia Baroe, yang juga dimiliki oleh orang Belanda yang punya pikiran maju tentang negeri jajahan.
Bahkan, kaum elit Belanda kala itu sudah mengenal Agus Salim dengan pemikiran-pemikirannya dan sepak terjang politiknya.
Namun, ada satu hal yang dikenang Roem ketika berkunjung ke rumah kontrakan Agus Salim, yakni suasana ceria dan gembira seluruh anggota keluarga. "Kami mendapatkan diri dalam suasana gembira, anak-anak yang kami sudah kenal sedang bersenda gurau," kenang Roem.
Tidak mengherankan, bila Prof William Schermerhorn, salah seorang pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, memiliki penilaian khusus tentang sosok Haji Agus Salim.
Menurut dia, Agus Salim adalah sosok orang yang sangat pandai, jenius dan menguasai sembilan bahasa. Tapi dia punya satu kelemahan, "yaitu selama hidupnya melarat," tulis Prof Schermerhorn dalam catatan hariannya, Senin malam 1 Oktober 1946.
Baca Juga: PDIP Minta Jokowi Belajar dari Gusdur untuk Sampaikan Maaf Negara bagi Soekarno dan Keluarga
Agus Salim, kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat 8 Oktober 1884 itu, wafat di Jakarta 4 November 1954. Dia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah pada 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.