“Kan itu tetap ada mens rea-nya, ada kehendak jahatnya dan menimbulkan kerugian, maka dari itu harus ada yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa pasal tersebut bukan dibuat untuk menjerat jurnalis dan pers, tetapi untuk semua orang.
“Misalnya ada kaitannya dengan pers, tetap harus melewati mekanisme yang ada dalam Undang-Undang Pers,” tegasnya.
Sementara, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mencontohkan kasus yang melibatkan atau berhubungan dengan pers, dan tetap dijerat dengan UU ITE.
“Saya ambil contoh dalam soal pers. Sekarang, sebelum ada hukum pidana yang baru, kita punya hukum pidana yang lama, dan kita punya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).”
“Dalam sejumlah kasus, misalnya di Sulawesi atau di Kalimantan, jurnalis dikenakan pasal pidana dan pasal UU ITE,” tuturnya.
Sebagai argumentasi pembelaan di pengadilan, lanjut dia, kita bisa menggunakan asas lex specialis, bahwa hukum yang spesial, yang khusus untuk mengatasi hukum yang umum.
Baca Juga: Masih Ada Pasal di RKUHP yang Bermasalah, Masa Peralihan Akan Alot Karena Multitafsir?
Tapi, meskipun nantinya yang bersangkutan bebas dari jeratan hukum, mereka tetap saja harus menjalani penahanan pada awal proses hukum.
“Tapi itu tidak ada jaminan. Orang sudah terlanjur ditahan, dipenjara.”
“Katakanlah di Mahkamah Agung nanti dibebaskan, tapi perampasan kemerdekaan pada awal-awal proses hukum itu, itu yang sebenarnya terjadi,” ucapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.