JAKARTA, KOMPAS.TV – Tugas terberat pemerintah sebagai pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah menjelaskan implementasinya pada aparat penegak hukum.
Penjelasan itu disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (7/12/2022).
“Saya kira tugas terberat pembentuk undang-undang, dalam hal ini adalah pemerintah dan DPR, adalah untuk terus menjelaskan di masa transisi selama tiga tahun,” jelasnya.
“Terutama justru bukan kepada masyarakat, terutama adalah pada aparat penegak hukum.”
Edward menilai, beragam kritik yang muncul berkaitan dengan pengesahan rancangan undang-undang (RUU) KUHP menjadi KUHP adalah masalah pengimplementasian pasal.
Baca Juga: Masih Ada Pasal di RKUHP yang Bermasalah, Masa Peralihan Akan Alot Karena Multitafsir?
“Sebenarnya kalau kita melihat berbagai kritik, yang dilakukan oleh mahasiswa dan juga oleh teman-teman sejawat saya, yang katakanlah mereka memiliki latar belakang hukum tata negara, saya sangat memahami bahwa yang mereka khawatirkan adalah masalah implementasi.”
“Kalau masalah implementasi kan, itu ada pada aparat penegak hukum,” tegasnya.
Mengenai pendapat yang menyebut bahwa KUHP baru mengancam demokrasi dan merupakan kemunduran bagi kebebasan berpendapat, Edward mengatakan, itu hanya karena ketidakpahaman.
“Saya kira itu hanya persoalan ketidakpahaman. Kenapa demikian? Salah satu misi dari KUHP yang kita dengungkan itu adalah demokratisasi.”
Pemerintah, kata dia, sangat menjunjung tinggi kebebasan berdemokrasi, juga kebebasan mengeluarkan pendapat, karena itu dijamin oleh konstitusi.
“Tapi, harap diingat, konstitusi kita tidak menjamin kebebasan menghina, karena penghinaan adalah perbuatan pidana.”
Ia menjelaskan, dalam draf awal RUU KUHP, ada empat jenis penghinaan.
Keempatnya adalah menyerang harkat dan martabat presiden, penghinaan terhadap pemerintah, penghinaan terhadap kekuasaan umum, dan penghinaan terhadap pejabat negara.
Namun, belakangan, dua penghinaan dipangkas.
“Tidak ada lagi penghinaan terhadap pejabat negara, tidak ada lagi penghinaan terhadap kekuasaan umum.”
“Yang ada hanya penyerangan harkat dan martabat presiden, dengan penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara,” lanjutnya.
Ia menambahkan, filosofi hukum pidana adalah melindungi kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.
“Pertanyaan lebih lanjut, apa yang dilindungi dari kepentingan negara? Paling tidak ada dua. Keamanan negara dan martabat.”
“Ini yang kemudian dituangkan dalam pasal-pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, untuk menjaga marwah, lalu kemudian penyerangan terhadap hakat dan martabat presiden,” urainya.
Baca Juga: Pakar Hukum Nilai Pasal 2 RKUHP soal Living Law Berpotensi Munculkan Perda Diskriminatif
Mengenai anggapan yang menyebut bahwa semua orang bisa kena pasal penghinaan tersebut, Edward menyebut, dalam KUHP yang lama pun, tidak semua orang bisa dijerat dengan pasal yang ada.
“Maka pertanyaan itu dibalik, apakah dengan KUHP yang lama semua orang kena? Kan tidak.”
“Maka dengan KUHP yang baru, justru lebih jauh untuk bisa dijerat,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.