“Yang bisa melapor ini kan hanya orang tua atau anak dari pasangan mereka ini, yang notabene kan ada di luar negeri,” tuturnya.
Baca Juga: RKUHP Bisa Penjarakan Pelaku Seks di Luar Nikah, Indonesia Disorot Media Asing
Jika salah satu atau keduanya sudah berkeluarga, yang bisa mengadukan pasal itu hanya suami atau istri mereka.
“Kalau salah satu sudah berkeluarga, yang bisa mengadukan hanya suami atau istri mereka,” terangnya.
Edward menjelaskan, saat pihaknya melakukan sosialisasi di 12 kota, ada dua daerah yang mengkritik pemerintah, namun dengan alasan yang saling bertolak belakang.
Satu daerah mengkritik karena menilai pemerintah mengatur pasal yang masuk ranah privat, sementara saat melakukan sosialisasi di Sumatera Barat, pemerintah dikritik karena dianggap tidak tegas.
“Tapi saat kita ke Sumatera Barat, pemerintah dihujat karena dianggap tidak tegas, 'kenapa ini delik aduan? Ini kan melanggar moral agama',” tuturnya.
“Pada titik ini, kita harus punya pilihan. Kalau kita mengikuti daerah yang ingin ini dihapus, Sumatera Barat akan mengatakan ini tidak aspiratif. (Tapi) kalau kita mengikuti Sumatera Barat, kita juga dikatakan tidak aspiratif,” terangnya mengurai.
Baca Juga: Polisi Temukan Belasan Kertas di Polsek Astana Anyar, Kapolri: Penolakan terhadap Rancangan KUHP
Akhirnya, lanjut Edward, pihaknya mengambil jalan tengah, yakni menjadikan pasal tersebut sebagai delik aduan.
“Jadi kita mengambil the middle way, bahwa, oke ini dihapus. Tetapi untuk mencegah (agar) jangan sampai aparat penegak hukum, baik polisi maupun Satpol PP melakukan penggerebekan, sweeping, ini satu, dijadikan delik aduan dan tidak boleh ada peraturan daerah yang bertentangan dengan KUHP itu,” jelasnya.
Dalam dialog itu, Edward juga menegaskan bahwa pasal tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan investasi, seperti yang dikhawatirkan sejumlah pihak akan berdampak kepada iklim investasi Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.