"Misalnya kita ikut negara lain mengajukan ke UNESCO, tetap sejarahnya itu adanya di Indonesia. Sejarah itu kan tidak hanya dinilai dari omongan, tetapi kita memiliki kajian-kajian akademis yang menunjukkan bahwa kebaya itu aslinya dari Indonesia. Itulah yang perlu kita gaungkan ke dunia," tegasnya.
Sehingga, lanjutnya, pendaftaran satu budaya ke UNESCO tak lantas menjamin budaya tersebut menjadi hak milik satu negara.
Rahmi pun menyebut, suatu negara berhak mengajukan budaya tertentu ke UNESCO, asal dapat membuktikan bahwa mereka sudah melakukan pelestarian terhadap budaya tersebut minimal selama 25 tahun.
Hal ini juga berlaku bagi empat negara di kawasan ASEAN yang berupaya mengajukan kebaya sebagai nominasi multinasional.
"Jadi kalau konsep UNESCO soal warisan budaya tak benda itu, kalau satu negara bisa membuktikan bahwa selama 25 tahun mereka sudah melakukan pelestarian terhadap budaya tertentu, mereka berhak mengajukan," jelasnya.
"Nah, kalau keempat negara ini bisa membuktikan bahwa mereka sudah berkebaya sejak 25 tahun sampai sekarang, mereka berhak mengajukan."
Sementara untuk Indonesia, Rahmi menyebut, telah berkebaya selama 500 tahun lamanya.
"Sehingga, Indonesia bisa (mengajukan ke UNESCO), tapi bukan berarti karena sudah paling lama, kita tidak boleh join ke negara lain atau negara lain tidak boleh mengajukan," tegasnya.
"Jadi maunya kita, karena sejarah dan budaya kebaya ada di Indonesia, kita maunya sih single nomination. Tapi, negara lain karena memiliki hak juga untuk mengajukan, kita tidak boleh juga memotong hak itu."
Baca Juga: Yuk, Kenal Lebih Dekat dengan Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.