SOLO, KOMPAS.TV – Maarif Institute menggelar muktamar bertajuk Pemikiran Ahmad Syafii Maarif: Islam, Kebhinekaan dan Keadilan Sosial, pada Sabtu (12/11/2022), di Surakarta, Jawa Tengah.
Setidaknya ada seratus pemuda yang menjadi peserta muktamar tersebut dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Para pemuda itu terdiri dari peserta Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif (ASM) periode tahun 2022, alumni SKK ASM, Peneliti Muda alumni program Maarif Fellowship, kader intelektual dan aktivis lintas agama serta intelektual, serta aktivis dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam.
Mereka mengikuti empat sesi muktamar yang membahas berbagai tema, mulai dari inklusivitas hingga tantangan intoleransi dan politik identitas di Indonesia.
Sebanyak 12 pembicara menyampaikan materi tentang toleransi dan nilai kemanusiaan dari pemikiran cendekiawan muslim Ahmad Syafii yang akrab disapa Buya Syafii.
Salah satu pembicara yang merupakan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Profesor Amin Abdullah menuturkan, sosok Buya Syafii harus menjadi inspirasi bagi anak-anak muda, sebab tantangan hari ini jauh lebih kompleks dan mendesak, misalnya konservatisme dalam dunia Pendidikan Islam.
“Munculnya praktik konservatisme dan intoleransi di Indonesia, di antaranya kurangnya tradisi literasi di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Kedua, disebabkan pemahaman akan anti filsafat, dan ketiga penggunaan dan pendekatan terhadap pemahaman teks keagamaan yang tidak kaya sehingga mendistorsi dari makna dan substansi dari beragama itu sendiri,” jelas Prof. Amin, Sabtu (12/11) berdasarkan keterangan tertulis yang diterima KOMPAS.TV.
Baca Juga: Tepat di Hari Pahlawan, Muhammadiyah Resmikan "Serambi Buya Syafii Maarif"
Pembicara lainnya, Romo Greg Soetomo, menyatakan bahwa Buya Syafii menjiwai Islam sebagai agama yang senantiasa bersentuhan dengan realitas dan konteks masyarakat yang sedang berkembang.
Tokoh Muhammadiyah itu, kata dia, memandang Islam bukan sebagai ajaran spiritual yang serba abstrak dan melulu hanya bicara tentang langit.
Romo Greg, menyebut Buya Syafii memaknai Islam sebagai ajaran yang membumi dan memberikan efek sosial yang nyata.
"Oleh karena itu, isu-isu dan permasalahan seperti ketidakadilan menjadi keprihatinan Islam dan seorang muslim untuk mengubahnya. Adil dan tidak adil adalah nilai inti dari mana nilai-nilai kebaikan lain lahir dan tumbuh”, kata Koordinator Dialog dengan Muslim di Jesuit Conference of Asia Pacific, Manila, Filipina itu.
Di sisi lain, peneliti di bidang ilmu sosial, budaya dan kajian agama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Ahmad Najib Burhani, menggambarkan Buya Syafii sebagai sosok yang humanis dan bermoral.
Prof Najib menyebut Buya Syafii mengartikan humanisme agak berbeda dengan tokoh lain. Secara prinsipil, kata dia, memang sama, karena Buya juga selalu mengutip Al-Maun.
"Tetapi secara implementasi berbeda, misalnya Buya mengartikan humanisme dengan perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan. Buya sering mengatakan bahwa sila kelima belum diimplementasikan di Indonesia," ujarnya.
Baca Juga: 3 Buku Baru Buya Syafii Maarif, Kebangsaan dan Keumatan hingga Usulan Dijadikan Pahlawan Nasional
Kemudian, pembicara lain yang juga peneliti senior BRIN, Thung Ju Lan, menyatakan Buya Syafii menilai bangsa Indonesia kurang serius dalam menata nilai Indonesia, terutama di dalam ruang identitas agama dan etnis.
Menurut Ju Lan, Buya kerap menyinggung tentang politik identitas yang mestinya lebih menitikberatkan nilai kemanusiaan, bukan kepentingan lain.
“Saya melihat bahwa politik identitas justru lebih erat pada kepentingan-kepentingan politik dan menggerakkan masa, sedangkan dalam sudut pandang kewarganegaraan, kita adalah sama sebagai manusia," ujarnya.
Baca Juga: Tak Ingin Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Buya Syafii Sudah Pesan Makamnya Sendiri
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.