YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Riset Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia, sekitar 15,5 juta jiwa, memiliki masalah kesehatan mental dalam satu tahun terakhir.
I-NAMHS menjalankan survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental terhadap remaja usia 10 – 17 tahun di Indonesia.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa satu dari dua puluh remaja Indonesia, sekitar 2,45 juta orang, memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Para pemuda dan pemudi tersebut terdiagnosis memiliki gangguan mental sesuai dengan panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia, yakni Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada lima jenis gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja Indonesia, yakni:
Baca Juga: Bunuh Diri Bisa Dicegah! Pahami Penyebab, Faktor Risiko, dan Cara Pencegahannya
“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” ungkap peneliti utama I-NAMHS, Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D. dilansir dari situs resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (24/10/2022).
Riset kesehatan mental remaja itu juga menemukan bahwa hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka.
Padahal, hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia adalah remaja dengan rentang usia 10 – 19 tahun, sehingga populasi remaja dapat dikatakan memiliki peran penting bagi perkembangan Indonesia.
Baca Juga: Dear Parents, Simak 4 Gaya Asuh Orang Tua dan Dampaknya terhadap Anak, Jangan Otoriter dan Abai!
“Hanya 2,6 persen dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir," tutur Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM itu.
"Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,” imbuhnya.
I-NAMHS juga mengumpulkan data mengenai pengaruh kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pembatasan kontak sosial selama pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental remaja.
Sebanyak 1 dari 20 remaja melaporkan merasa lebih depresi, lebih cemas, lebih merasa kesepian, dan lebih sulit untuk berkonsentrasi dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19.
Baca Juga: 10 Oktober Hari Kesehatan Mental Dunia 2022, Waspada Tingkat Bunuh Diri Remaja
Temuan lain dari I-NAMHS adalah bahwa kebanyakan pengasuh remaja (38,2 persen) memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka.
Di sisi lain, sebesar 43,8 persen dari semua pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan melaporkan, mereka tidak mencari bantuan karena lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.
Menurut Prof. Siswanto, ketersediaan data prevalensi berskala nasional seperti I-NAMHS sangat diperlukan.
“Selama ini, data yang kita punya tidak merepresentasikan Indonesia atau tidak berdasarkan diagnosis sehingga perencanaan program dan advokasi mengenai kesehatan mental remaja menjadi tidak tepat sasaran," jelasnya.
"Harapannya I-NAMHS bisa membantu pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam mendesain program dan advokasi yang lebih baik bagi remaja kita,” lanjut dia.
Penelitian I-NAMHS dikerjakan melalui kerja sama antara Universitas Gadjah Mada, University of Queensland Australia, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Hasanuddin.
I-NAMHS fokus menghitung beban penyakit atau prevalensi enam gangguan mental yang paling umum di antara remaja, yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).
Selain itu, I-NAMHS juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.
Sumber : Kompas TV/ugm.ac.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.