JAKARTA, KOMPAS.TV - Ombudsman RI menemukan sejumlah dugaan potensi maladminsitrasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Badan POM, dalam kasus gagal ginjal akut pada anak-anak di Indonesia.
Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng menyatakan, Kemenkes tidak bisa menyajikan data yang valid terkait kasus gagal ginjal akut pada anak (GGAPA). Ia menyebut, kasus ini terjadi bukan baru-baru ini, tapi sudah sejak bukan Januari.
"Kami mempertanyakan data yang disampaikan Kemenkes, apa benar Januari itu hanya 2 kasus lalu Februari itu 0 kasus. Angka itu kan baru diperoleh pada bulan Agustus dan September," kata Robert dalam konferensi pers virtual, Selasa (25/10/2022).
"Saat kejadian memuncak pemerintah baru men-tracking ke belakang, jadi belum tentu akurat. Kalau memang benar tidak akurat, maka pemerintah sudah melakukan maladministrasi data," katanya.
Baca Juga: DPR: Ada Dugaan Subtitusi Bahan Baku Obat Sirup, Kemenkes dan Bea Cukai Harus Cek
Robert menuturkan, jika Kemenkes bisa menjalankan perannya dengan baik, mestinya masalah ini bisa dicegah jauh-jauh hari.
Sedangkan potensi maladministrasi yang dilakukan BPOM adalah lalai dalam pengawasan pre dan post market. Ia menilai BPOM tidak maksimal dalam mengawasi produk yang diuji oleh perusahaan farmasi.
Dengan mekanisme uji mandiri, itu seolah BPOM memberikan kewenangan negara kepada perusahaan farmasi tanpa kontrol yang kuat.
"Yang terjadi, uji mandiri dilakukan perusahaan farmasi baru mereka laporkan ke BPOM. Jadi BPOM terkesan pasif dan menunggu. Kami minta kontrol harus aktif, pada tingkat tertentu harus diambil sampling random dan BPOM sendiri yang menguji," tutur Robert.
Robert juga meminta ada sanksi yang keras kepada perusahaan yang produknya terbukti mengandung zat yang menyebabkan gagal ginjal akut.
Baca Juga: Presiden Jokowi Beri Empat Arahan Penanganan Gagal Ginjal Akut: Jangan Anggap Ini Masalah Kecil
Berikut Potensi Maladministrasi Kementerian Kesehatan:
1. Kemenkes RI tidak memiliki data pokok terkait sebaran penyakit (epidemiologi) baik tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan/mitigasi kasus GGAPA.
2. Atas ketiadaan data tersebut, Kemenkes RI tidak dapat melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi GGAPA. Sehingga dapat diartikan sebagai ketiadaan keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait kasus GGAPA.
3. Ketiadaan stadarisasi pencegahan dan penanganan kasus GGAPA oleh seluruh pusat Pelayanan kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL). Sehingga menyebabkan belum terpenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium
Potensi Maladministrasi BPOM:
1. Ombudsman RI menyoroti adanya kelalaian dari BPOM RI dalam pengawasan pre market (proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan) dan post market control (pengawasan setelah produk beredar)
Baca Juga: G angguan Ginjal Akut: BPOM akan Proses Pidana Dua Perusahaan Farmasi
2. Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri).
3. Ombudsman menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM RI dengan implementasi di lapangan.
4. Ombudsman menilai bahwa dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM RI pasca pemberian izin edar.
5. Ombudsman RI menilai bahwa BPOM RI perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.
6. Ombudsman menilai bahwa BPOM RI wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.