JAKARTA, KOMPAS.TV - Sebelas hari pascatragedi Kanjuruhan Malang, sejumlah korban tampak masih merasakan efek dari paparan gas air mata.
Menanggapi pertanyaan tentang dampak gas air mata yang sebabkan sesak napas, Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Erlang Samoedro menyarankan agar korban memeriksakan diri ke dokter.
"Bisa ke dokter lagi, kemudian biasanya itu berlangsung 2-3 minggu, biasanya sembuh sendiri," jelas Dokter Erlang di program Sapa Indonesia Malam, di Kompas TV, Rabu (12/10/2022).
Menurut dia, efek gas air mata pada saluran pernapasan biasanya akan pulih dengan sendirinya karena lama-kelamaan kandungan gas yang terhirup akan terdelusi.
Akan tetapi, apabila terjadi kerusakan di paru-paru, maka pasien atau orang yang menghirup gas air mata itu membutuhkan oksigen tambahan.
"Kalau sampai terjadi kerusakan di paru, iya butuh (tabung) oksigen," ujarnya.
Baca Juga: Dokter Paru Ungkap Dampak Gas Air Mata terhadap Saluran Pernapasan, Bisa Fatal untuk Kelompok Rentan
Paru-paru juga bisa rusak permanen, kata dia, apabila terpapar gas air mata dengan dosis tinggi.
"Tergantung dari dosis, kalau dosisnya tinggi sekali, parunya bisa sampai rusak, tapi kan yang dipakai di udara luar begini, itu kecil, mungkin hanya 10 mikro gram per liter," tegasnya.
Sedangkan dosis letal (kadar beracun yang mematikan) dari gas air mata, kata dia, sebesar 200 kali lipat dosis biasa.
"Dosis letal untuk gas air mata ini ada juga, itu sekitar 200 kali dari yang biasanya. Itu terjadi di ruangan tertutup dan terus-menerus," lanjut dia.
Ia menjelaskan, korban bisa mengecek secara mandiri keadaan pernapasannya, sehingga bisa memutuskan untuk periksa ke dokter atau tidak.
"Kalau merasa napasnya agak susah, kemudian agak sesak, pernapasan lebih dari 18 kali per menit, ya itu butuh pertolongan di rumah sakit atau petugas kesehatan, untuk dilihat lagi, apakah di-rontgen, apakah terjadi kerusakan paru atau tidak," jelasnya.
Baca Juga: Profesor Kimia Sebut Gas Air Mata Kedaluwarsa Lebih Berbahaya, Komponennya Bisa Jadi Gas Sianida
Ia menerangkan, gas air mata mengandung zat iritan yang akut dan pemulihannya relatif cepat.
"Ini zat iritan yang akut, biasanya resolve-nya juga cepat, jadi jarang menimbulkan dampak jangka panjang, kecuali ada kerusakan di parunya," jelas dia.
"Kalau bicara tentang akut, itu sekitar dua minggu (pemulihannya)," ujarnya.
Menjawab pertanyaan tentang penyebab kematian korban tragedi Kanjuruhan ke-132, Helen Prisela, Erlang menyatakan dirinya tak bisa mengatakan kematian korban semata-mata karena efek gas air mata.
"Karena yang terjadi pada pasien-pasien itu juga ada trauma, terutama trauma pada dada," ujarnya.
"Kemudian, trauma pada paru juga bisa menimbulkan hal seperti itu, jadi menimbulkan peradangan pada paru kemudian jadi fatal. Bukan semata-mata dari gas air mata saja," lanjut dia.
Baca Juga: Penyebab Wafatnya Helen Prisela, Korban ke-132 Tragedi Kanjuruhan, Efek Gas Air Mata?
Sebagaimana diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, Wakil Direktur Pelayanan RSSA, Malang, Syaifullah Asmiragani mengungkapkan bahwa mendiang Helen meninggal dunia pada Selasa (11/10/2022) akibat mengalami gagal napas akut (Acute Respiratory Distress Syndrome).
Ia menjelaskan, pihak tim dokter RSSA Malang masih belum bisa memastikan gas air mata secara langsung berpengaruh pada kondisi korban.
"Kalau hipoksia bisa karena gasnya, bisa karena berimpitan. Tapi secara langsung (mengenai) disebabkan gas air mata (atau tidak), saya juga tidak bisa memastikan itu," kata Syaifullah pada Selasa (11/10/2022) malam.
Menurutnya, korban Helen mengalami trauma tubuh pada bagian area wajah, kemudian patah tulang tangan, dan pendarahan perut serta dada.
Baca Juga: TGIPF Lakukan Pemeriksaan Laboratorium Gas Air Mata Kedaluwarsa di Tragedi Kanjuruhan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.