Lalu, lanjut Hanif, parpol lantas menunjukkan diri mereka ke publik sebagai korban atas sistem. Sistem yang seolah sengaja dibentuk untuk menjatuhkan lawan politik.
"Di antara langkah teknis playing victim adalah politisi ataupun partai politik akan massif menarasikan bahwa dirinya sebagai korban. Membangun opini publik bahwa telah terjadi kezaliman kepada satu pihak," paparnya
"Karena itu, jika ada politisi ataupun partai politik yang gencar menarasikan merasa dijegal, dijatuhkan, ataupun dihalangi, maka harus dilihat secara objektif. Masyarakat harus selektif dan objektif. Jangan mudah percaya kepada narasi yang digaungkan politisi," sambungnya.
"Jika tidak, politisi terkaitlah yang akan diuntungkan. Yakni menaikan citra dan suara dirinya ataupun partainya. Di titik inilah, literasi politik warga negara perlu diasah dan ditingkatkan," tambah dia.
Baca Juga: Dewan Kopral vs Dewan Kolonel, Pengamat: Perang Terbuka Pendukung Puan dan Relawan Ganjar
Hanif lantas menjelaskan, upaya yang dilakukan parpol dengan bicara seolah menjadi korban adalah tindakan manipulatif.
"Dari paparan (parpol naikkan mesin politik) dengan playing victim adalah tindakan manipulatif. Membuat ataupun membesar-besarkan hal yang sebenarnya tidak ada ataupun tidak seberapa ada," paparnya.
Ia menyebutkan, dalam demokrasi, cara menaikkan citra dengan seolah jadi korban misalnya, pada dasarnya tidak sehat.
Parpol dinilai harus berani beradu ide dan gagasan. Sebab, hal itu kata Hanif bisa jadi indikator demokrasi berlangsung sehat dan bisa jadi cara untuk menaikkan literasi politik bagi publik.
"Dalam konteks penguatan demokrasi, playing victim adalah strategi yang tidak sehat. Bersaing merebut suara rakyat tidak secara legal-rasional tetapi lebih pada mengaduk simpati dan emosi. Tidak berani adu ide dan program secara elegan, objektif, dan transparan," tutupnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.