JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintah tidak bisa mencampuri perihal pembebasan bersyarat yang diberikan kepada sejumlah narapidana korupsi
Mahfud MD meyakini, pembebasan bersyarat yang diberlakukan terhadap sejumlah narapidana korupsi sudah memenuhi peraturan perundang-undangan.
Pernyataan itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD di Istana Merdeka sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (8/9/2022).
“Soal pembebasan bersyarat, tentu peraturan perundang-undangannya sudah secara formal memenuhi syarat,” ucap Mahfud MD.
“Dan harus diketahui, Pemerintah tidak boleh ikut masuk ke urusan hukum kalau urusan hukuman dan membebaskan itu.”
Baca Juga: Bagaimana Cara Dapat Bebas Bersyarat, Simak Penjelasan Penyuluh Hukum Kemenkumham
Mahfud MD kemudian menyampaikan, keputusan hakim yang memberikan bebas bersyarat terhadap narapidana kasus korupsi atau pun kasus lainnya bagian dari proses ketatanegaraan yang harus dihormati.
Di samping itu, kata Mahfud MD, program pembebasan bersyarat maupun pengurangan jumlah masa hukuman merupakan keputusan dari majelis hakim atau pengadilan yang tidak bisa diintervensi.
“Kita membawanya ke pengadilan dengan bukti-bukti yang kuat. Kalau sudah hakim berpendapat, bahwa hukuman yang layak seperti itu, ya kita tidak bisa ikut campur,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pekan ini publik disodorkan dengan fakta bahwa sejumlah terpidana kasus korupsi menjalani program bebas bersyarat.
Antara lain adalah bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan Pinangki Sirna Malasari, mantan jaksa yang terlibat makelar kasus Djoko Tjandra.
Baca Juga: ICW: Ingat Pinangki, Publik Tidak akan Pernah Lupa Bobroknya Kejaksaan Agung Tangani Perkara
Ratu Atut, berdasarkan vonis pengadilan tingkat pertama pada 1 September 2014 divonis penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan.
Namun, Mahkamah Agung (MA) lalu memperberat hukuman Ratu Atut menjadi tujuh tahun penjara pada Februari 2015.
Ratu Atut Chosiyah merupakan narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Ia terbukti menyuap Akil Rp1 miliar terkait penanganan sengketa Pilkada di Lebak, Banten. Atut juga terjerat kasus pengadaan alat kesehatan yang merugikan negara Rp79 miliar.
Sementara Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan pada 8 Februari 2021.
Baca Juga: Banyak Koruptor Bebas Bersyarat, MAKI: Ini Jadi Pesan, Korupsi Tidak Berefek Hukum Menakutkan
Ia terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsider Pasal 11 UU Tipikor. Kedua, Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang serta didakwa terkait pemufakatan jahat pada Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor.
Vonis tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan tuntutan jaksa terhadap Pinangki Sirna Malasari yang didakwa pasal berlapis, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Namun, Pinangki ketika itu mengajukan banding atas vonis hakim tipikor dan di tingkat banding hakim memangkas hukumannya menjadi sesuai tuntutan jaksa, yakni 4 tahun.
Atas putusan di tingkat banding, Kejaksaan Agung yang didorong untuk melanjutkan ke tahap kasasi tidak merespons.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.