Selain kasus Munir, Jokowi pula yang menyusun kreasi absurd penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan non yudisial, yang sudah dipastikan tidak akan mampu mengungkap kebenaran dan keadilan.
"Keengganan Jokowi dalam menuntaskan kasus Munir dan pilihannya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial adalah gambaran terang benderang tentang arah politik penegakan HAM di Indonesia yang semakin suram menuju pelembagaan impunitas secara permanen dan tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan, " jelas Hendardi.
Dia juga menyinggung Keputusan Presiden (Keppres) yang diklaim ditandatangani saat 17 Agustus 2022 dan hingga kini tidak bisa diakses publik. Hal ini, kata dia, adalah cara pragmatis memberikan pemulihan karitatif bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.
Tak hanya Jokowi, SETARA Institute juga mengkritik sikap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dinilai memilih jalur aman dalam kasus kematian Munir.
Di mana dalam kasus Munir, Komnas HAM tidak menanganinya sebagai salah satu peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM.
Bahkan Komnas HAM, lanjut Hendardi, baru membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelidikan kasus ini justru menjelang tibanya masa kadaluarsa.
Padahal, sejak TPF menyelesaikan tugasnya di 2005, Komnas HAM semestinya sudah bisa melakukan kerja penyelidikan sehingga kasus ini terus bisa ditindaklanjuti dengan menggunakan kerangka UU 39/1999 dan UU 26/2000.
“Komnas HAM jelas pilih jalur aman dan berlindung di ujung masa kadaluarsa dan di ujung masa jabatan Komnas HAM periode 2017-2022 yang akan berakhir Desember," ujar Hendardi.
Sehingga, SETARA menilai, alih-alih menjadi instrumen percepatan penanganan kejahatan HAM, Komnas HAM periode ini justru menebalkan impunitas sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir.
Baca Juga: Pesawat TNI AL yang Jatuh Ternyata sedang Latihan untuk Sambut Tamu dari Kamboja
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.