JAKARTA, KOMPAS.TV - Penyelidikan kasus pembunuhan berencana yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J terus berlanjut. Pihak Kepolisian, kini menggunakan alat uji kebohongan atau lie detector untuk memeriksa para tersangka.
Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi mengatakan penggunaan alat ini untuk mengetahui kebenaran dari keterangan para tersangka. Selain itu menggunakan lie detector atau uji poligraf merupakan salah satu cara untuk mengungkap peristiwa dalam pembunuhan berencana Brigadir J.
"Lie detector yang dipergunakan Bareskrim Polri adalah untuk uji kebohongan, sebuah mesin poligraf," tulis kepolisian dikutip dari Polri.go.id.
Lantas sebenarnya bagaimana sejarah penggunaan lie detector untuk keperluan penyelidikan? Bagaimana keakuratannya dari metode ini?
Baca Juga: Ferdy Sambo Batal Diperiksa Pakai Lie Detector soal Kasus Pembunuhan Brigadir J karena Alasan Ini
Metode pengungkapan keterangan bohong ini tercatat sejak 1000 SM di China. Pada era tersebut seseorang yang diduga berbohong diisi mulutnya dengan segenggam beras. Ia akan diminta memuntahkan beras tersebut setelah beberapa saat.
Beras muntahan itu akan dicek. Jika kering maka tersangka bisa dinyatakan bersalah dan melakukan kebohongan atau penipuan.
Seperti dikutip dari jurnal International Journal of law and Psychitiary (2005), metode ini mendasarkan pada asumsi dan prinsip fisiologis seseorang yang ketakutan atau cemas akan terjadi penurunan air liur dan keringnya bagian mulut.
Berkembangnya teknologi memunculkan cara lain. Uji poligraf atau lie detector akhirnya digunakan sebagai salah satu instrumen yang untuk mengecek dan memantau reaksi fisiologis seseorang ketika diberi pertanyaan oleh pihak terkait dalam sebuah perkara.
Baca Juga: Dipakai untuk Kasus Brigadir J, Mantan Kabareskrim: Lie Detector Tidak Lagi Digunakan Negara Maju
Menggunakan alat, uji poligraf dapat mengukur perubahan kondisi tubuh seseorang mulai dari denyut jantung, tekanan darah, peningkatan keringat, hingga interval helaan napas.
Sejumlah sensor akan dipasang pada tubuh seperti jari tangan, dada, perut, hingga lengan yang bersangkutan sebagai objek pemeriksaan. Seluruh parameter tersebut akan terungkap dalam perubahan grafik skala yang tercatat.
Penanya nantinya akan memberikan pertanyaan sederhana kepada objek untuk menetapkan norma sinyal orang tersebut. Pertanyaan kemudian berlanjut terkait perkara orang tersebut.
Saat tes, poligraf akan menunjukkan grafik dan tanda vital apa yang berubah dalam pernyataan objek yang dites. Pemeriksa yang terlatih dapat mendeteksi kebohongan itu.
Meski demikian salah satu kelemahan dari cara ini adalah subjektifnya interpretasi pemeriksa. Selain itu tiap orang juga memiliki reaksi yang berbeda terhadap kebohongan.
Baca Juga: Putri Candrawathi Diperiksa dengan Lie Detector, Ahli: Kurang Efektif Pada Orang Biasa Bohong
Metode ini juga sudah tak digunakan lagi oleh negara-negara maju. Mantan Kabareskrim Komjen (Purn) Ito Sumardi menjelaskan akurasi dari alat lie detector atau pendeteksi kebohongan tidak sepenuhnya akurat, hanya 60-70 persen.
“Di negara-negara maju lie detector ini juga tidak terlalu dijadikan satu alat yang bisa digunakan, bisa mengecek apakah orang itu menyampaikan suatu keterangan secara akurat atau tidak, secara benar atau tidak,” kata Ito Sumardi di Kompas Malam, Selasa (6/9/2022).
Selain itu keakuratan lie detector juga diragukan ketika diterapkan pada orang yang lelah, stres, hingga residivis karena sangat memengaruhi hasil.
“Demikian pula ada orang-orang yang memang sudah terbiasa, biasanya residivis ya, ya itu dia mampu meng-handle pertanyaan yang menjebak sehingga hasilnya itu menampilkan pola yang tidak menunjukkan kalau orang tersebut berbohong ya," ujarnya.
Sumber : Kompas TV/Kompas.com/Polri
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.