JAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Kaden A Biro Pengamanan Internal (Kaden A Biropaminal) Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri Kombes Agus Nurpatria berkemungkinan mendapatkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) jika pelanggaran yang dilakukannya dinilai cukup berat.
Kombes Agus menjalani sidang kode etik terkait dugaan obstruction of justice atau menghalangi proses hukum terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Selasa (6/9/2022). Ia adalah satu dari tujuh tersangka kasus obstruction of justice.
Mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno menjelaskan, sebelum menjatuhkan sanksi, perlu dilihat terlebih dahulu tindakan yang dilakukan terlapor.
Jika masalah pelanggaran etik dinilai cukup berat dan dianggap tidak layak, kemungkinan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) akan menjatuhkan sanksi PTDH.
Baca Juga: Kombes Agus Nurpartia Jalani Sidang Etik Kasus Pembunuhan Brigadir Yosua Hari Ini 6 September
Sebaliknya, jika pelangaran dianggap tidak berat, tidak diberikan sanksi PTDH, melainkan sanksi administrasi. Semisal ditempatkan di tempat khusus dalam beberapa hari.
"Jadi tidak harus dipukul sama merata. Kalau ditemukan sama-sama berat ya hukumannya PTDH semuanya. Kalau bobot pelanggaran berbeda saya rasa ada pertimbangan. Jadi Timsus yang menentukan pelanggaran etika dengan secara matang," ujar Oegroseno dalam program Kompas Petang KOMPAS TV, Selasa.
Oegroseno menambahkan, pengamanan dan olah tempat kejadian perkara (TKP) adalah inti dari penyelidikan Polri yang harus dipertahankan kemurniannya. Jika TKP rusak, pastinya kepolisian kecewa, apalagi dirusak.
Di sisi lain, perusakan TKP pembunuhan Brigadir J ini juga harus dilihat secara matang. Ia mengatakan, ada yang diperintah untuk mengamankan TKP di luar, dan ada yang disuruh untuk merusak TKP.
Baca Juga: Peran Kombes Agus Nurpatria: Ternyata Tak Hanya Rusak CCTV…
Meski demikian, kata Oegroseno, seorang personel Polri bisa menolak perintah atasan yang bertentangan dengan hukum dan undang-undang (UU).
"Anggota kepolisian itu bertanggung jawab kepada hukum dan UU. Jadi dia berhak tidak melaksanakan perintah kalau bertentangan dengan UU," kata Oegroseno.
"Jadi dikatakan, 'Saya tidak bisa menghindar karena perintah atasan', itu tidak bisa. Karena itu akan berkaitan dengan suatu proses dalam criminal justice system nantinya," imbuhnya.
Lebih lanjut Oegroseno mengingatkan, seorang aparat penegak hukum melakukan kejahatan akan lebih berat dibanding masyarakat biasa yang melakukannya.
Baca Juga: Halangi Penyidikan Pembunuhan brigadir Yosua, 3 Perwira Dipecat dan Puluhan Lain Tunggu Sanksi
Seorang aparat, apalagi yang lulus dalam pendidikan, kata dia, sudah mengetahui apa yang dapat dan tidak dapat, serta harus dan tidak harus dilakukan seorang anggota Polri.
Kemudian, Oegroseno menambahkan, anggota Polri juga mengetahui sanksi yang akan didapat jika melanggar aturan yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan institusi.
"Sanksinya yang diterima ya terendah, teringan sampai yang terberat," ujarnya.
Sejauh ini, sudah tiga perwira Polri yang mendapat sanksi PTDH dari sidang etik kasus obstruction of justice dalam penanganan kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Baca Juga: Kompol Baiquni Wibowo Ikut Jejak Irjen Ferdy Sambo, Ajukan Banding Setelah Diputus PTDH dari Polri
Mereka adalah Irjen Ferdy Sambo, Kompol Baiquni Wibowo dan Kompol Chuck Putranto. Ketiganya dinyatakan terbukti tidak profesional dan melanggar kode etik profesi Polri dalam penyidikan kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Irjen Ferdy Sambo disebut sebagai otak skenario perusakan TKP di rumah dinasnya di Duren Tiga, dan kedua bawahannya tersebut sebagai pelaku perusakan TKP.
Ketiga perwira tersebut mengajukan banding atas vonis PTDH yang dijatuhkan majelis hakim sidang Komisi Kode Etik Polri.
Selain Ferdy Sambo, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, dan Agus Nurpatria, tiga tersangka lainnya dalam kasus obstruction of justice adalah mantan Karopaminal Propam Polri Brigjen Pol. Hendra Kurniawan, mantan Wakaden B Biropaminal Divisi Propam Polri AKBP Arif Rahman Arifin, dan mantan Kasub Unit I Sub Direktorat III Dittipidum Bareskrim Polri AKP Irfan Widyanto.
Nama-nama itu diduga terlibat dalam mengambil, memindahkan, merusak dan mentransmisikan barang bukti CCTV di TKP Duren Tiga sehingga menghambat proses pengungkapan kasus.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.