TEMANGGUNG, KOMPAS.TV – Tidak banyak perempuan yang bergelut dengan ular, dan secara khusus mendirikan pusat studi mengenai hewan melata tersebut. Salah satunya adalah Lydia Apririasari.
Pagi itu, Kamis (1/9/2022), cuaca di sekitar Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah cukup cerah, meski udara masih terasa sedikit dingin.
Gunung Sumbing di sebelah selatan terlihat jelas, seperti mengawasi aktivitas warga di lereng utaranya.
Rajangan tembakau milik warga setempat terlihat berjejer di sejumlah titik di tepi jalan Temanggung menuju Wonosobo.
Di salah satu rumah, yang merupakan tempat tinggal Lydia, sekaligus tempatnya menyimpan ratusan spesimen ular, tampak beberapa orang berkunjung.
Perempuan itu menyapa tamunya dengan ramah, lalu menyilakan mereka duduk.
Ratusan botol kaca berisi air tertata rapi di ruang tamunya. Jika tidak memperhatikan foto-foto yang ada di bawah masing-masing botol, sekilas itu seperti manisan buah yang berjejer.
Namun, saat memperhatikan dengan saksama, botol-botol kaca tersebut ternyata berisi spesimen ular atau ular yang diawetkan.
“Ini yang ada di sini 75 jenis, kalau jumlah ularnya 150 lebih, yang hidup ada 12 ekor,” kata pemilik sekaligus pendiri Tulala Snake Research Center ini.
Perwakilan seluruh family ular berhasil dikumpulkannya sejak tahun 1998 lalu. Saat pertama kali mengumpulkan spesimen, ia masih sekadar menyimpan, tanpa memberi keterangan detail.
Waktu itu ia hanya menempelkan kertas bertuliskan nama ular pada sisi luar botol.
Tapi, sejak beberapa tahun terakhir, Lydia mulai membuatkan semacam papan nama untuk ular-ular awetan yang dikoleksinya.
“Ke sininya saya bikinkan name tag, di baliknya ada klasifikasi dan yang spesifik dari ular itu, misalnya bertelur berapa butir, panjang tubuhnya berapa, distribusinya di mana saja, sedetail itu.”
Lydia bahkan bukan hanya mengumpulkan spesimen ular. Keseriusannya mendirikan pusat studi ular juga ditunjukkan dengan mengumpulkan semua bagian tubuh ular, mulai dari tulang hingga embrionya.
“Ada juga tulangnya, anatominya juga lengkap tuh saya punya, sampai ke kotorannya, embrio, kulitnya ada, taringnya. Jadi sedetail itu, karena memang ini tujuannya untuk edukasi,” tuturnya sambil menunjuk ke benda-benda di atas meja.
Mayoritas spesimen ular yang dikumpulkan oleh Lydia merupakan ular spesies asli Indonesia, yakni mencapai 95 persen. Sisanya merupakan ular dari luar Indonesia.
Selain mencari sendiri, Lydia juga memperoleh spesimen ular dari beberapa rekannya, termasuk yang berada di luar negeri.
Terlebih sebagian besar temannya mengetahui bahwa ia mendirikan pusat studi tersebut.
Lydia mungkin bukan satu-satunya perempuan yang hobi memelihara dan bermain dengan ular.
Namun, ia menyebut pusat studi ular yang dikelola oleh perorangan hanya ada satu di Indonesia, yakni Tulala Snake Research Center miliknya.
Ia mengakui ada beberapa lembaga yang memiliki spesimen untuk studi ular, seperti Museum Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
“Sampai saat ini yang model begini hanya satu di Indonesia,” tuturnya.
“Kalau selebihnya, ada di Museum Biologi UGM ada, karena itu kan negeri, dan di LIPI. Kalau yang swasta seperti ini cuma ada satu,” ia menegaskan.
Lydia menambahkan, spesimen yang dimilikinya mewakili seluruh family ular, bukan mewakili spesies. “Perwakilannya ya, bukan spesiesnya. Kalau spesiesnya bisa lebih dari dua ribu.”
Ia menyebut sejumlah family ular yang dimiliki, mulai dari family Elapidae, Hydrophiidae, Viperidae, Crotalidae, Colubridae, Boidae, Acrochordidae, Typhlopidae, dan masih banyak lagi.
Mendirikan pusat studi ular dan mengedukasi masyarakat tentang binatang melata ini bukan tanpa harapan.
Lydia ingin agar nantinya orang-orang yang pernah datang dan belajar ke tempatnya tidak lagi terlalu takut pada ular.
Kegiatannya selama puluhan tahun mengedukasi masyarakat tentang ular, mulai dari menjelaskan jenis-jenis ular, cara penanganan gigitan, hingga struktur tubuh ular pun mendapat apresiasi dari pemerintah.
Lydia pernah menerima penghargaan sebagai juara pertama kader konservasi nasional, dan pada tahun 2018 lalu ia menerima penghargaan Kalpataru.
“Dulu pernah jadi juara satu kader konservasi nasional, tahun 2018 saya dapat Kalpataru di Kabupaten Temanggung, selebihnya ada penghargaan juri, pengisi seminar, dll.”
Ketertarikan Lydia pada ular bukan timbul sejak ia masih kecil, walaupun ia mengaku sebagai seorang penyayang binatang sejak kecil.
Awal ketertarikannya muncul saat dirinya hendak melaksanakan PKL di bangku kuliahnya, di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
Saat itu dosennya menyoroti skripsi sebagian besar mahasiswa Biologi, yang disebut hanya tentang air.
Setelah itu, secara kebetulan Lydia bertemu dengan seorang pengamat ular, Jamzuri, yang hendak menggelar pameran.
“Waktu itu dia bilang, kalau mau lihat ular silakan ke rumahnya, lagi banyak.”
Lydia pun berkunjung ke kediaman Jamzuri, dan di sana ia bertemu dengan adik tingkatnya di kampus, Heru Gundul, yang kemudian meminta tolong agar Lydia mencarikan nama latin untuk ular-ular yang ada di rumah Jamzuri.
Dari situ, Lydia mendapat ide untuk melaksanakan PKL tentang ular. Ia pun ke kampus dan menemui dosennya.
Tapi, idenya untuk melaksanakan PKL tentang ular tidak serta merta diterima. Kata Lydia, pihak fakultas merapatkan usulannya tersebut.
“Kemudian fakultas rapat dulu untuk memutuskan boleh atau tidak. Seminggu kemudian dikabari bahwa boleh, tapi PKL hingga skripsi harus tentang ular,” kenangnya.
Setelah lulus kuliah, Lydia meneruskan kegemarannya belajar tentang ular. Ia bahkan berpikir untuk menekuni secara serius studi tentang hewan melata tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Lydia bersama tiga rekannya kemudian mendirikan komunitas pecinta ular di Jakarta.
Namun, karena sejumlah hal dan pertimbangan, pada tahun 2007 Lydia tidak lagi aktif di komunitas tersebut.
“Tahun 2008 saya bikin Tulala ini.”
Tulala sebagai pusat studi ular memiliki beragam kegiatan, termasuk mengedukasi karyawan perusahaan tambang.
Sebab, menurut Lydia, petugas survei di perusahaan tambang sering kali harus berhadapan dengan satwa liar, salah satunya ular.
Selain ke sejumlah perusahaan tambang, Tulala Snake Research Center juga memberikan penyuluhan untuk sekolah-sekolah, masyarakat umum, bahkan ke hotel-hotel.
“Edukasi dengan ada silabusnya.”
“Misalnya kita edukasi ke TK, kita tidak akan ngomong yang tinggi-tinggi amat, maksudnya materinya tidak seberat yang lainnya,” lanjutnya.
Lydia menyesuaikan materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta pelatihan.
Ia menjelaskan mulai dari anatomi, secara biologinya, morfologi, taksonomi, hingga fisiologi ular. Semacam menyibak misteri tentang ular yang tak diketahui orang awam.
“Bahkan sampai kita ada etnoserventologi, yaitu penanganan gigitan ular secara tradisional.”
Selain edukasi berupa penyuluhan, Lydia juga beberapa kali melakukan rescue atau pertolongan saat warga mendapati adanya ular di rumah atau lingkungannya.
Saat ini ia memelihara 12 ekor ular berbagai jenis, termasuk seekor ular welang hasil rescue, yang memiliki bisa atau racun tinggi.
Ia mengaku sangat safety dalam menjaga ular-ularnya agar jangan sampai terlepas. Sebab, jika ular itu lepas, ia akan kesulitan mencarinya dan tentunya akan menghebohkan tetangga sekitar.
Bukan hanya itu, dari sejumlah ular itu, beberapa di antaranya memiliki harga jual yang cukup tinggi, sehingga akan sangat disayangkan jika sampai lepas dan hilang.
“Selain itu ada ular yang lumayan harganya, eman-eman kalau lepas.”
Memelihara ular, lanjut dia, sebenarnya tidak terlalu merepotkan, karena biasanya ular hanya makan dua hingga tiga pekan sekali.
Tapi, itu juga tergantung pada jenis dan bobot ular. Ia pernah memiliki ular sepanjang 4,5 meter yang dinamai Donat.
Saat memelihara Donat, biaya yang harus dikeluarkan untuk pakan cukup besar, karena sekali makan dibutuhkan lima kilogram paha ayam.
“Jadi kita belanja kayak orang mau hajatan,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa masing-masing jenis ular memiliki karakter yang berbeda. Sebagai orang yang sudah cukup lama bergelut dengan ular, Lydia mengaku paham karakter masing-masing.
Bahkan hanya dengan melihat dan merasakan bahasa tubuh ular, Lydia paham apa yang harus dilakukan.
“Jangan sampai tergigit. Kita kalau main ular sebisa mungkin jangan sampai tergigit, itu yang benar.”
“Kita ngerti nih ularnya apa, kita ngerti bahasa tubuhnya, kok bisa sampai tergigit, kan malu-maluin,” lanjutnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.