JAKARTA, KOMPAS.TV – Ari Nurcahyo, Direktur Eksekutif PARA Syndicate, menyebut bahwa berdasarkan catatan, tujuh Presiden Republik Indonesia tidak pernah memiliki gaya yang sama.
Penjelasan itu disampaikan Ari menanggapi isu Jokowi Syndrome yang membayang-bayangi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Menurutnya, saat ini ada sindrom Jokowi dan sindrom hasil survei, yang beranggapan seakan-akan calon kandidat yang elektabilitasnya tinggi sudah pasti akan diusung oleh partai politik.
“Tujuh presiden yang pernah ada, tidak punya style yang sama. Apakah misalnya pengganti Pak Jokowi stylenya harus sama dengan Pak Jokowi? Siklusnya tidak pernah sama,” kata dia dalam Diskusi Media: "Mencari Capres Alternatif dan Membaca Arah Koalisi", Rabu (31/8/2022).
Baca Juga: Gerindra Akan Diskusi dengan Cak Imin Soal Usulan Prabowo-Puan di Pilpres 2024
Menurutnya, saat ini ada pihak yang membanding-bandingkan sosok kandidat calon presiden yang dianggap memiliki kesamaan dengan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).
“Apakah akan berulang dalam sejarah tujuh presiden itu, tidak. Figurnya, stylenya, gayanya, bentuk fisiknya, hobinya, mungkin alumninya, kan dikait-kaitkan.”
Dalam diskusi itu, Ari juga menjelaskan mengenai kemungkinan klaster koalisi. Menurutnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bisa mengusung pasangan capres-cawapres sendiri.
“Tetapi, hemat saya, PDIP tidak akan maju sendiri, pasti akan menggandeng partai lain.”
“Karena, apa pun kekuatan komposisi pemerintahan di parlemen itu perlu perimbangan kekuasaan sehingga tidak akan sendiri,” dia menjelaskan.
Saat ini lanjut dia, masih ada tiga parpol yang berada di klaster bebas atau tanpa koalisi, yakni Nasdem yang sudah ditemui oleh PDI Perjuangan, serta Partai Demokrat dan PKS.
Ia menyebut Demokat dan PKS belum diketahui nasibnya dalam arah koalisi ke depan seperti apa.
“Kalau Demokrat dan PKS bergabung, itu hanya 104 kurasi, belum mencukupi 115 kursi, sehingga belum bisa.”
“Jadi Demokrat dan PKS butuh satu partai. Kalau Nasdem masuk ke koalisi,” imbuhnya.
Berdasarkan perkembangan yang ada, ia membagi peluang koalisi ke depan menjadi empat arah.
Arah pertama adalah PDIP berkoalisi dengan Partai Nasdem. Arah kedua, PDIP bergabung ke PKB dan Gerindra.
Arah ini, kata dia dapat dilihat dari rencana pertemuan Puan Maharani dengan Prabowo Subianto.
“Nanti mungkin Prabowo Mbak Puan atau Prabwo-Ganjar.”
“Arah ketiga, PDIP akan bergabung dengan KIB, cukup kuat. Kalau itu yang terjadi, tentu sangat kuat KIB, tinggal bagaimana calonnya,” kata dia.
Arah empat, lanjut Ari, adalah kemungkinan Partai Nasdem bergabung dengan Partai Demokrat dan PKS, yang menurut dia gejalanya sudah ada.
Ia menalnjutkan, dugaan PDIP akan mendekat ke Nasdem muncul karena posisi partai Nasdem sekarang ini memang sentral dan belum memiliki koalisi.
Tapi, jika nantinya Nasdem bergabung dengan PKS dan Demokrat, menurutnya PDIP akan gabung dengan Gerindra-PKB atau dengan KIB.
Baca Juga: Bertemu Relawan Bravo 5 Binaan Luhut, Jokowi Bicara Soal Pilpres 2024
“Skenario koalisinya adalah dua poros koalisi, berarti akan ada pilpres satu putaran. Kalau ada dua poros, tentu akan menginduk ke kuadran satu dan dua jadi dua koalisi besar,” tuturnya.
“Kalau tiga poros, peluangnya akan pilpres dua putaran, akan menginduk ke arah kuadran tiga, maksudnya ke PDIP, artinya PDIP bisa membentuk poros koalisi baru.”
Ia juga menyebut, jika melihat pernyataan sejumlah petinggi PDIP, menurut Ari, mereka menginginkan pilpres mendatang hanya berlangsung satu putaran.
PDIP disebutnya sangat mungkin tidak akan satu koalisi dengan Partai Demokrat dan PKS, karena buat masih ada beban masa lalu.
“Kalau dengan PKS, beban PDIP adalah beban ideologis.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.