Kompas TV nasional hukum

Psikolog Forensik Jelaskan Pentingnya Rekonstruksi: Ingatan Tersangka Rentan Terdistorsi

Kompas.tv - 30 Agustus 2022, 19:44 WIB
psikolog-forensik-jelaskan-pentingnya-rekonstruksi-ingatan-tersangka-rentan-terdistorsi
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan rekonstruksi atau reka ulang kasus merupakan hal yang perlu dilakukan karena daya ingat manusia rentan mengalami fragmentasi dan distorsi. Hal itu diungkapkan dalam tayangan Kompas Petang Kompas TV, Selasa (30/8/2022). (Sumber: Tangkapan layar tayangan KOMPAS TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Edy A. Putra

 

JAKARTA, KOMPAS.TV – Rekonstruksi atau reka ulang kasus merupakan hal yang perlu dilakukan karena daya ingat manusia rentan mengalami fragmentasi dan distorsi.

Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan reka ulang dilakukan untuk mencari validitas atas keterangan-keterangan yang sudah pernah disampaikan oleh para tersangka dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Menurutnya, harus dipahami bahwa proses BAP adalah proses yang mengandalkan daya ingat manusia.

“Persoalannya adalah daya ingat manusia, termasuk daya ingat tersangka, rentan mengalami fragmentasi dan distorsi,” ungkap Reza dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV, Selasa (30/8/2022).

“Untuk mengantisipasi itu, maka para tersangka dibawa kembali ke TKP (tempat kejadian perkara, red), lalu dicek ulang seberapa jauh validitas keterangan yang pernah mereka sampaikan pada penyidik.”

Reka ulang tersebut, lanjut dia, bisa saja mengoreksi atau justru mengonfirmasi keterangan-keterangan yang telah diberikan sebelumnya.

Baca Juga: Ini Momen Putri Candrawathi Kuatkan Ferdy Sambo usai Rekonstruksi, Pegang Lengan dan Cium Pundak


Ia menambahkan, setidaknya ada tiga penyebab daya ingat manusia, termasuk tersangka, rentan mengalami fragmentasi dan distorsi.

Pertama, dari peristiwanya. Kata dia, unsur peristiwanya sesungguhnya bukanlah peristiwa yang menarik untuk diingat-ingat oleh manusia.

Dalam kasus Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, adalah peristiwa pembunuhan.

“Barangkali juga ada adegan-adegan kekerasan, ada lontaran kata-kata keras. Sekali lagi, bukan peristiwa yang secara alami ingin diingat manusia.”

“Tanpa diperintah pun, otak manusia secara otomatis akan melakukan represi, hasilnya adalah fragmentasi atau distorsi,” lanjut Reza.

Kedua, lanjutnya, berdasarkan sekian banyak riset, terkadang pemeriksaan atau interogasi pada tersangka diwarnai dengan berbagai bentuk tekanan, baik disadari maupun tidak disadari oleh penyidik.

Jika tekanan itu muncul dan para tersangka atau para terperiksa tidak cukup mampu menoleransinya, kemungkinan terganggunya memori mereka juga menjadi besar.

“Alasan ketiga, setiap orang, setiap tersangka tentunya memiliki target hukum masing-masing. Secara umum, mereka ingin agar bebas murni. Tapi sepertinya itu tidak realistis, maka targetnya diubah.”

“Ya, berharap tidak hukuman mati, tapi hukuman seumur hidup, atau bahkan hukuman penjara 20 tahun saja,” imbuhnya.

Untuk mencapai target hukum masing-masing, kata Reza, tentu setiap orang atau tersangka akan membangun siasat dan strategi, termasuk mengkonstruksi ingatan mereka sesuai dengan target kemenangan mereka.

“Tidak ada lagi untuk menjadi martir, menyelamatkan, melindungi atasan, teman-teman sejawat, tidak ada lagi. SDM, selamatkan diri masing-masing.”

“Nah tiga kemungkinan itulah yang menyebabkan proses fragmentasi atau distorsi para tersangka atau terperiksa sangat mungkin terjadi,” tegasnya.

Karena itu, untuk memastikan validitas keterangan para tersangka, penyidik membawa mereka ke TKP untuk melakukan rekonstruksi.

“Guna memastikan validitas keterangan-keterangan yang berangkat dari ingatan mereka tentang peristiwa tragis tersebut,” ucap Reza.

Ia menambahkan, berdasarkan simpulan dari kajian psikologi forensik, daya ingat manusia adalah barang yang paling merusak dalam proses penegakan hukum.

Baca Juga: Penjelasan Polisi Pengacara Yosua Tidak Boleh Ikut Rekonstruksi

“Ingatan manusia adalah barang yang paling mengganggu proses pengungkapan kebenaran.”

Tapi, lanjut dia, pelaksanaan rekonstruksi lebih baik daripada sekadar mengandalkan ingatan para tersangka saat pemeriksaan di kantor polisi.

“Paling tidak, ketimbang semata-mata mengandalkan daya ingat yang dibongkar di kantor polisi, mudah-mudahan dengan pemeriksaan, termasuk distribusi informasi di TKP, di lokasi kejadian itu berlangsung, mudah-mudahan ini menjadi pasokan informasi baru.”

“Apakah dua sumber informasi ini akan serasi, ataukah justru akan kontradiktif satu sama lain? Nanti akan diuji,” tuturnya.

Diberitakan sebelumnya, polisi menggelar reka ulang atau rekonstruksi kasus penembakan Brigadir J pada hari ini, Selasa (30/8/2022).

Rekonstruksi digelar di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta, dan rumah pribadinya di Jalan Saguling, Duren Tiga.

Dalam rekonstruksi tersebut, polisi menghadirkan lima tersangka kasus itu, yakni Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada E alias Richard Eliezer, Bripka RR alias Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x