JAKARTA, KOMPAS.TV - Seorang Komisaris Besar Polisi di Jakarta (ketika masih bernama Batavia), Ruempol, dihadapkan pada kasus yang tidak pernah dia tangani sebelumnya.
Pada Jumat, 17 Mei 1912, Jakarta dihebohkan dengan penemuan sesosok mayat perempuan di Kali Baru kawasan Senen. Mayat perempuan berwajah blasteran Eropa dan Pribumi itu, matanya bulat, berhidung mancung dan rambutnya hitam panjang.
"Peristiwa ini jelas membuat penduduk Batavia heboh karena ini kali pertama sebuah peristiwa pembunuhan dengan peristiwa kekerasan dan seks. Dari bukti-bukti fisik dapat disimpulkan bahwa perempuan Indo itu tewas dicekik," sepertip dari buku "(Bukan) Tabu di Nusantara" (2018), karya Achmad Sunjayadi.
Baca Juga: Kasus Pembunuhan Brigadir Yoshua, Kapolri Mutasi Tiga Jenderal
Selidik punya selidik, terungkap bahwa korban adalah Fientje de Feniks, seorang PSK di rumah bordil Oemar Ompong.
Komisaris Besar Ruempol pun langsung bergerak mengumpulkan bukti dan saksi. Salah satu yang diinterogasi tentu saja Oemar Ompong sang pemilik rumah bordil. Tak susah bagi Ruempol mendapatkan banyak informasi dari sang mucikari itu.
Dari Oemar Ompong meluncur nama Gemser Brinkman, seorang Belanda yang rajin bertandang ke rumah bordilnya. Dan salah seorang PSK yang selalu di-booking-nya adalah Fientje de Feniks, sang primadona.
Namun ketika disebut nama Brinkman, Ruempol sejenak tersentak. Bagaimana tidak, Brinkman bukanlah orang sembarangan. Dia adalah sosok terhormat yang tergabung dalam Societeit Concordia, sebuah klub mewah yang beranggotakan para saudagar zaman Kolonial.
Mengutip Nationalgeographic.co.id, ketika itu kota Batavia dihuni oleh beberapa kalangan elite yang kebanyakan berasal dari Eropa. Mereka membangun tempat hiburan eksklusif, yang hanya boleh dimasuki oleh kalangan mereka. Berbeda dari tempat hiburan lainnya, tempat ini juga menyediakan perpustakaan dan meja baca, dengan banyak buku dan jurnal.
Tempat hiburan ini dinamakan societeit atau klub, berupa gedung yang menyediakan minuman keras dan hidangan ala Eropa. Terdapat juga meja kartu dan biliar. Gedung ini hanya dapat dimasuki oleh anggota klub yang sudah terdaftar. Acara yang diadakan di dalam gedung societeit kerap diberitakan di dalam surat kabar.
Meski sadar yang dihadapi orang penting yang dekat dengan para petinggi kolonial, Ruempol tidak ciut. Dia bertekad untuk menjadikan Batavia sebagai tempat yang aman bagi siapa pun.
Benang merah pun mulai tampak. Orang yang membuang mayat sudah ditemukan yaitu Silun. Dia mengaku menyesal telah menerima uang gulden dari lelaki yang bernama Brinkman.
Kini, telunjuk diarahkan kepada Brinkman. Tapi Brinkman tegas menolak tuduhan itu. Tersiar kabar, suap dan soal status Brinkman yang bukan orang sembarangan, membuat kasus ini terhambat. Kala itu, nama baik seorang Belanda jauh lebih penting daripada seorang blasteran, apalagi dengan jelas korban seorang pelacur.
Namun berkat kegigihan Ruempol, Brinkman berhasil dibawa ke pengadilan. Brinkman tak gentar menghadapi persidangan. Ia bahkan dibela oleh seorang pengacara terkenal bernama Hoorweg. Ia juga mencoba menyuap jaksa penuntut, Wedana Weltevreden sebesar 3.000 gulden. Kemudian menyuap asisten jaksa sebanyak 2.000 gulden.
Melalui uang suap dan pengaruhnya yang kuat di klub orang Belanda, dia masih terkekeh di meja hijau. Dia sangat yakin akan bebas.
Apalagi, posisi orang Belanda dan pribumi ibarat langit dan bumi. Namun, dia makin tersudut tatkala para saksi dihadirkan. Salah seorangnya Rosna (ada yang menyebut Raona), kawan Fientje yang mengintip dari balik bilik bambu.
Kesaksiannya membuat langit runtuh bagi Brinkman. "Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut, tapi saya katakan sekali lagi, laki-laki itulah yang telah melakukan pembunuhan." Demikian kesaksian Rosna kepada ketua pengadilan.
Brinkman mati kuti, dia dinyatakan bersalah. Ia dijatuhi hukuman mati. Namun, saat di dalam penjara, Brinkman keburu menghabisi nyawanya sendiri.
Di pengadilan terungkap motif Brinkman menghabisi nyawa Fientje. Dia menginginkan Fientje jadi gundiknya, namun sang PSK menolaknya. Brinkman yang sangat dihormati itu tersinggung dan naik pitam. Fientje pun dicekik hingga tewas. Sementara Silun yang dijanjikan mendapatkan upah atas jasa membuang mayat, juga masuk bui.
Kisah Fientje dan lika-liku penangkapan Brinkman, cukup menghebohkan kala itu. Surat kabar dan buku ditulis untuk mengulas kasus ini, misalnya, penulis Tan Boem Kim yang menulis "Fientje de Feniks atawa Djadi Korban dari Tjemboeroean," pada 1915.
Pada tahun yang sama terbit buku "Nona Fientje de Feniks" karya Drekkerij Tjiong Koen Bie. Termasuk "Sair Nona Fientje de Feniks dan Sakalian Ia Poenja Korban jang Bener Terjadi di Betawi antara taon 1912-1915".
Baca Juga: Kuasa Hukum Brigadir Yoshua: Pelaku Pembunuhan Yoshua Lebih dari Satu Orang
Wartawan Rosihan Anwar pernah menulis kasus ini meski tidak panjang, dalam bukunya "Petite Histoire Indonesia" jilid 1 (Penerbit KOMPAS). Rosihan menuliskan akhir kisah Brinkman, "Di dalam sel kematian, sungguh dia tak percaya bahwa seorang kulit putih yang kaya harus membayar dengan nyawanya sendiri karena membunuh seorang pelacur Indo."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.