Padahal, kata Yusril, executive heavy yang ada dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, sudah sejak lama ditentang.
Menurut Yusril, UUD 1945 pasca amandemen justru menciptakan check and balances antarlembaga negara.
Tidak ada hubungan korelatif antara presidential threshold dengan penguatan sistem presidensial sebagaimana selama ini didalilkan MK.
"Politik begitu dinamis. Oposisi bisa berubah menjadi partai pendukung pemerintah hanya dalam sekejap," ucap Yusril.
Ia pun mengatakan Pasal 222 UU Pemilu merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy, bahwa presiden dan DPR tidak dapat dinilai oleh MK.
Baca Juga: MK Tolak Gugatan Presidential Threshold 20 Persen Yusril Ihza Mahendra dan La Nyalla
“Meskipun itu open legal policy, saya berpendapat MK tetap berwenang untuk menguji apakah open legal policy yang dihasilkan sejalan dengan norma konstitusi atau tidak," kata Yusril.
"Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah open legal policy yang konstitusional."
Karena itu, Yusril memandang MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya tersebut, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang.
"Dalam fiqih, tokoh sekaliber Imam Syafii (767-820 M) saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan qaul jadid atau pendapat baru," ujarnya.
Baca Juga: MK Tolak Seluruhnya Gugatan UU Pemilu yang Diajukan Ketum Partai Gelora Anis Matta
"Dan meninggalkan qaul qadim atau pendapat terdahulu karena situasi atau ratio legis yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah."
Termasuk MK, kata Yusril, tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi.
"Sehingga terkesan jumud dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita," kata Yusril.
Baca Juga: Tok! MK Tolak Seluruhnya Uji Materi UU Cipta Kerja tentang Jaminan Hari Tua
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.