JAKARTA, KOMPAS.TV – Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut, gempar kasus dugaan penyelewengan dana oleh organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menjadi catatan terkait integritas para pengelola lembaga filantropi.
Apalagi, menurutnya, ada gejala berkembangnya 'duafa entrepreneur' atau pialang alias makelar filantropi yang memanfaatkan atau berbisnis dengan memanfaatkan duafa.
“Kasus ACT itu juga menjadi catatan tentang integritas para pengelola lembaga filantropi. Banyaknya musibah dan tingginya kedermawanan masyarakat menjadi peluang bisnis para pialang filantropi,” katanya kepada KOMPAS.TV lewat pesan WhatsApp, Selasa (5/7/2022).
“Di masyarakat terdapat gejala berkembangnya 'duafa entrepreneurs', mereka yang berbisnis dengan komodifikasi kaum duafa,” sambungnya.
Baca Juga: PBNU Angkat Bicara soal Heboh ACT: Merusak Kepercayaan Lembaga Amal
Guru Besar UIN Jakarta itu lantas menyebut, pemerintah harus serius mengawasi hal ini.
“Pemerintah perlu membuat lembaga semacam OJK (otoritas jasa keuangan) dalam lembaga keuangan Syariah. Ini untuk memastikan keterlaksanaan good corporate governance,” sambungnya merujuk tata kelola perusahaan yang baik.
PP Muhammadiyah menyebut, ketiadaan lembaga pengawas filantropi adalah faktor yang memungkinkan terjadinya penyelewengan.
“Tidak adanya lembaga otoritas yang mengawasi lembaga filantropi merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan oleh pengurus,” paparnya.
“Penyelewengan juga berpotensi terjadi, tidak hanya secara governance, tetapi juga penggunaan dana untuk kepentingan politik dan distribusi yang tidak sesuai aturan,” sambungnya.
PP Muhammadiyag pun mengimbau agar masyarakat cerdas melihat sebuah lembaga amal ini.
"Masyarakat perlu lebih cerdas menilai profesionalisme dan akuntabilitas lembaga filantropi," paparnya.
Sebab, kata dia, masyarakat berhak tahu penggunaan dana yang disalurkan lewat lembaga itu.
“Mereka berhak untuk mengetahui penggunaan dana yang telah mereka salurkan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan," paparnya.
Baca Juga: Heboh Penyimpangan Dana Umat, Presiden ACT Minta Maaf pada Donatur dan Masyarakat Indonesia
Sebelumnya seperti diberitakan KOMPAS.TV, Presiden ACT Ibnu Khajar menegaskan, pengelolaan dana oleh lembaganya masih dalam kategori wajar.
Di sisi lain, Majalah Tempo menemukan adanya rekayasa terkait laporan keuangan hingga membuat lembaga itu mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Sebelumnya, Majalah Tempo mengungkap adanya dugaan penyelewengan dana dari lembaga ACT yang digunakan untuk keperluan pribadi sejumlah petinggi ACT. Selain itu, penggunaan dana untuk keperluan operasional dinilai tidak wajar.
"Kalau menganut kewajaran, 12,5 persen untuk hak penyelenggaranya. Nah, ini kalau kita perhatikan, ternyata lebih dari itu," kata Direktur Pemberitaan Tempo Budi Setyarso dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Senin (4/7).
Presiden ACT sendiri membenarkan bahwa rata-rata dana yang diterima ACT digunakan lebih dari 12,5 persen, tepatnya sebanyak 13,7 persen untuk keperluan operasional.
"Kenapa ACT 13,7 persen? Lebih karena ACT bukan lembaga zakat, ada donasi-donasi umum masyarakat, ada CSR, ada zakat juga," kata Ibnu dalam konferensi pers ACT di Jakarta Selatan, Senin (4/7).
Menurut Ibnu, lembaganya membutuhkan dana distribusi yang cukup besar karena memiliki banyak cabang di berbagai negara.
"ACT butuh dana distribusi dari dana lebih karena banyaknya cabang dan negara, diambil dari dana nonzakat," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.