JAKARTA, KOMPAS.TV- Saat merayakan Hari Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli, sosok Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, adalah yang banyak diingat. Dialah kepala kepolisian paling legendaris, bukan karena kemewahan dan geliman hartanya, tapi justeru kesederhanaan dan sikap tegas menolak suap.
Jenderal Hoegeng Iman Santoso menjadi Kapolri ke-5 sejak 1968 hingga 1971.
Salah satu kisah yang banyak diceritakan, dan terus memberi inspirasi kepada para pegiat antikorupsi adalah, saat Hoegeng diberi amanah menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara (1956), banyak tantangan dan ujian berat yang dihadapi Hoegeng.
Sejak awal kedatangannya di Medan saja, Hoegeng mendapatkan sambutan yang begitu "manis" dari para cukong di sana. Mereka bahkan telah menyiapkan sebuah rumah dan mobil untuk Hoegeng.
"Namun, Hoegeng menolak dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas," tulis sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam dalam Kompas edisi 1 Juli 2004.
Belum menyerah, para cukong tadi mencoba kembali mengambil hati Hoegeng dengan mengisi penuh rumah dinasnya dengan segala macam perabot rumah tangga.
Sudah tidak tahan dengan ulah para cukong itu, Hoegeng pun mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi.
Baca Juga: 10 Link Twibbon Hari Bhayangkara 2022 dan Cara Pasangnya, Siap Dibagikan ke WA dan FB
Melihat si pemberi tetap bergeming, dengan segera Hoegeng mengeluarkan semua perabot tersebut dan meninggalkannya di pinggir jalan.
Selain itu, istri Hoegeng, Merry juga sempat diisukan menjadi sasaran penyogokan lewat pemberian cincin berlian dari seorang keturunan India.
Hoegeng yang lahir 14 Oktober 1921 di Pekalongan, Jawa Tengah, itu merupakan sosok polisi tiada tandingan. Tidak mengherankan bila Presiden Abdurrahman Wahid alis Gus Dur menyebutnya sebagai polisi paling jujur seperti halnya patung polisi dan polisi tidur.
Gus Dur memuji Hoegeng meski dengan cara guyon. "Hanya ada 3 polisi jujur di negara ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng". Gurauan sekaligus wejangan tersebut disampaikan oleh Gus Dur dalam sebuah diskusi bertajuk "Dekonstruksi dan Revitalisasi Keindonesiaan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis 31 Agustus 2006 silam.
Sontak, guyonan kecil namun tepat itu, membuat masyarakat tertawa sekaligus terinspirasi pada sosok Hoegeng.
Hoegeng sejak kecil memang bercita-cita jadi polisi. Hal itu bermula dari kekagumannya terhadap Kepala Polisi Jakarta Raya Ating Natadikusuma yang gemar menolong rakyat kecil.
"Sejak kecil, saya selalu mengagumi polisi. Saya melihat mereka sebagai pahlawan yang bisa membantu rakyat kecil," kata Hoegeng, dikutip dari buku Memoar: Senarai Kiprah Sejarah.
Demi meraih impiannya itu, Hoegeng pun mencurahkan seluruh usaha dan tekadnya dalam mengikuti setiap ujian kepoliosian pada saat itu.
Setelah berhenti dari kepolisian, Hoegeng seperti tidak menampakkan muka sedih. Dia bahkan masih tetap ceria dengan meneruskan hobinya yaitu bermain musik Hawaian bahkan mendirikan grup The Hawaiian Senior bersama isterinya Marry.
Baca Juga: Pertama Kali dalam Sejarah Polri, Kapolri Listyo Sigit Naikkan Pangkat 2 PNS Setara Brigjen
Grup ini pernah tampil di TVRI, Hoegeng dan isteri tampil menggunakan baju hawaian lengkap dengan bunga-bunga di leher. Hoegeng bermain ukelele dan isterinya bernyanyi. Namun acara ini kemudian dicekal oleh pemerintah Orde Baru dengan alasan tak sesuai kepribadian bangsa. Tapi Hoegeng tak ambil pusing, dia meneruskan hobi berkebung dan melukis. Tak ada kerisauan setelah tak menjabat, karena dia tak punya beban.
Hingga pada 14 Juli 2004 Hoegeng meninggal dunia pada usia 82 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.