JAKARTA, KOMPAS.TV – Hal penting dari rencana keharusan menggunakan aplikasi MyPertamina untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar adalah sosialisasi.
Hal itu disampaikan Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional, dalam dialog Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Selasa (28/6/2022).
Menurutnya, dari sisi teknis, sejumlah kekhawatiran memang perlu diantisipasi. Tapi, dia sepakat mengenai ide besar bahwa subsidi harus menggunakan distribusi tertutup.
“Kalau teknisnya, misalnya sinyal pada range tertentu bisa negatif, dalam arti kata bisa nol, bisa juga verifikasi itu dilakukan mungkin beberapa meter dari tempat tangki dikucurkan. Kayak pola masuk ke gardu begitu, dicek, lolos baru bisa masuk,” tuturnya.
Baca Juga: DPR Minta Pertamina Maksimalkan Sosialisasi Uji Coba MyPertamina untuk Beli BBM Subsidi
“Yang penting sosialisasi dulu, menyadari bahwa JPT dan JPKP itu, penugasan khusus dan tertentu, merupakan jenis BBM yang di situ ada peran pemerintah yang luar biasa, dalam artian subsidinya cukup besar.”
Jika hal itu sudah disosialisasikan, baru kemudian masuk ke dalam mekanismenya, yakni bagaimana memudahkan masyarakat untuk tetap bisa menikmati haknya, untuk membeli BBM.
Menurut dia, hal itu bisa disiasati dengan mengatur beberapa hal, agar nantinya bisa diatasi secara teknis.
Ketiga, lanjut dia, yang tidak kalah penting adalah regulasi. Menurutnya regulasi yang ada saat ini belum terlindungi dengan baik melalui perpres yang ada.
“Dewan Energi Nasional mendorong supaya kementerian terkait, dalam hal ini Kementerian ESDM dan juga Pertamina, kita coba melakukan revisi Perpres Nomor 191 tahun 2014,” tuturnya.
“Supaya Pertalite masuk dalam jenis BBM tertentu yang disubsidi. Karena kalau tidak, mekanisme pembelanjaannya agak berbeda.”
Ia menegaskan, ada beberapa hal penting pada penerapan aturan mengenai keharusan menggunakan aplikasi MyPertamina.
Mulai dari sisi teknis hingga sosialisasi kepada masyarakat yang harus dilakukan dengan betul-betul matang.
Yang dikhawatirkannya, justru pada aspek sosialnya.
“Jadi antara yang berhak dan tidak berhak. Atau yang merasa berhak tapi dia tidak memiliki gadget. Justru itu yang menurut saya perlu massif disosialisasikan sebelumnya.”
Diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai bahwa aturan itu merupakan bentuk lain kenaikan harga BBM.
Tulus mengatakan, sebenarnya jika merujuk pada bench marking internasional dan juga efektivitas dari upaya mengurangi beban subsidi, yang paling realistis adalah kebijakan harga.
Karena, menurut dia di seluruh dunia tidak ada menjual BBM dengan dua harga.
“Karena itu sangat menyulitkan operasional, pengawasan, dan sebagainya.”
“Kan pemerintah telah mengunci bahwa tidak ada kenaikan harga. Padahal ini kalau kita telisik dengan mendalam, ini (penggunaan MyPertamina) sebenarnya juga merupakan kenaikan harga,” tuturnya.
Ia memisalkan pengguna sepeda motor atau mobil yang sebelumnya menggunakan Pertalite sebagai bahan bakar, tapi kemudian harus menggunakan Pertamax karena kebijakan jenis kendaraan yang bisa membeli Pertalite.
Baca Juga: Ini Sejumlah Kekhawatiran YLKI Jika Beli Pertalite dan Solar Bersubsidi Gunakan Aplikasi MyPertamina
“Biasanya pakai Pertalite dan nanti harus memakai Pertamax, itu kan kenaikannya Rp5.500 per liter. Itu sangat signifikan.”
Saat pembawa acara, Aiman Witjaksono menanyakan, apakah sebaiknya harga Pertalite dinaikkan, Tulus pun menjawab, jika tidak ada pilihan lain memang sebaiknya begitu.
“Saya kira kalau pemerintah sudah tidak mampu dengan pemberian subsidi BBM yang sekarang sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun, ya tidak ada pilihan,” ucapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.