Baca Juga: BMKG: Indonesia Berpotensi Alami Curah Hujan Tinggi 21-26 Juni, Waspada Puting Beliung
Karena kembali dibahas, BEM UI mempertanyakan sekaligus menagih draf terbaru RKUHP yang sampai saat ini belum dibuka ke publik.
"Hingga kini, masyarakat masih belum memperoleh akses terhadap draf terbaru RKUHP. Padahal, terdapat banyak poin permasalahan dari draf RKUHP versi September 2019 yang perlu ditinjau dan dibahas bersama secara substansial," kata Melki.
BEM UI menyoroti transparansi pemerintah dan DPR dalam pembahasan RKUHP kali ini. Apalagi, pada rapat tanggal 25 Mei itu, hanya dibahas 14 isu krusial dalam RKUHP tanpa membuka keseluruhan draf.
Padahal, merujuk draf terakhir pada September 2019, terdapat 24 isu krusial yang menjadi catatan kritis RKUHP yang dianggap bermasalah. Artinya, ada 10 isu lain yang luput dalam pembahasan.
Baca Juga: Tidak Transparan, BEM UI Desak Pemerintah Buka Akses Draft RKUHP Terbaru ke Publik
BEM UI secara khusus menyoroti keberadaan dua pasal, yakni Pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKUHP yang luput dari pembahasan saat rapat terakhir antara DPR dan pemerintah.
Pasal 273 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara.
Artinya, pasal tersebut menyiratkan bahwa masyarakat perlu izin dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum agar terhindar dari ancaman pidana.
Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang hanya mewajibkan pemberitahuan atas kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.
Baca Juga: Penjelasan Mahfud MD LGBT Bisa Dipidana, Meskipun Kata itu Tidak Ada di RKUHP
"Tak hanya itu, Pasal 273 RKUHP pun memuat unsur karet tanpa batasan konkret, yakni 'kepentingan umum', yang rentan disalahgunakan untuk mengekang kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum," kata Melki.
Sementara itu, Pasal 354 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara melalui sarana teknologi informasi.
Selain mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara yang seharusnya dapat dikritik oleh masyarakat, keberadaan Pasal 354 RKUHP dinilai akan menimbulkan permasalahan signifikan, mengingat pasal itu bukan merupakan delik aduan.
"Dengan demikian, siapa pun dapat melaporkan seseorang atas penghinaan terhadap
kekuasaan umum atau lembaga negara yang beredar di ranah elektronik, di mana hal ini dapat mencederai iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia," kata Melki.
Baca Juga: Politis PDIP Nilai Pasal Ancaman Pidana Pengibar Bendera Kusam dalam RKUHP Mubazir
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.