JAKARTA, KOMPAS.TV - Koalisi Bersihkan Indonesia (KBI) mendorong aparat penegak hukum untuk mengusut keganjilan dalam putusan bebas pendiri PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (PT BLEM) Samin Tan oleh majelis hakim Mahkamah Agung (MA).
KBI yang terdiri dari Auriga, YLBHI, PWYP Indonesia, dan Indonesia Corruption Watch (ICW), mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan upaya hukum luar biasa berupa pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke MA.
Sebelumnya, Samin Tan menerima putusan bebas dari majelis hakim MA pada Kamis, 9 Juni 2022. Padahal ia sempat melarikan diri dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Mei 2020 sebelum akhirnya ditangkap oleh KPK pada 5 April 2021.
"Setidaknya ada dua persoalan yang nyata dalam putusan perkara Samin Tan," kata Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara Roni Saputra dalam webinar yang disiarkan oleh ICW lewat YouTube, Minggu (19/6/2022).
Ia mengatakan, persoalan pertama ialah adanya kekeliruan hakim dalam membangun pertimbangan hukum yang saling bertentangan.
Kedua, ada perkara sebangun yang diputus berbeda dengan kasus Samin Tan.
Baca Juga: Vonis MA untuk Samin Tan Perpanjang Daftar Putusan Bebas Perkara Korupsi
"Perbedaan tafsir dan putusan ini bisa dijadikan alasan untuk memastikan KPK dapat melakukan upaya hukum luar biasa dalam hal ini," jelas Roni.
Ia juga menilai bahwa jaksa penuntut umum tidak menggali lebih dalam keterangan para saksi terkait persoalan penyerahan uang.
"Ini mengindikasikan juga KPK sebagai institusi penegak hukum, perlu melakukan pemeriksaan juga terhadap jaksa penuntut umum yang mengangani perkara ini," imbuhnya.
Dikutip dari siaran pers ICW, Samin Tan yang merupakan pendiri perusahaan pertambangan batubara itu didakwa secara alternatif menggunakan pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) atau Pasal 13 UU Tipikor.
Ia dituduh memberikan gratifikasi sebesar Rp5 miliar kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih. Gratifikasi tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, melalui Tata Maharaya staf Eni Saragih.
Pemberian gratifikasi tersebut diduga dilakukan sebagai balas jasa kepada Eni Saragih yang telah membantu PT. Asmin Koalindo Tuhup (PT AKT) yang merupakan subsidiary dari perusahaan milik Samin Tan, PT BLEM.
Izin PT AKT diketahui dicabut oleh Kementerian ESDM karena diduga menjadikan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 sebagai objek jaminan pinjaman kepada Standard Chartered Bank.
Baca Juga: Samin Tan Lepas, Ada Apa dengan Pengadilan? - OPINI BUDIMAN
Dalam pertimbangan majelis hakim pengadilan tingkat pertama, diketahui bahwa Samin Tan dibebaskan karena tidak memenuhi dakwaan jaksa sebagai pemberi gratifikasi kepada Eni Saragih.
"Jelas konstruksi pemberian Eni Maulani Saragih ini adalah pemberian suap," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhamad Isnur.
Menurutnya, daya rusak dari putusan MA ini bukan sekadar bebasnya Samin Tan, tetapi juga rusaknya tatanan dan nilai hukum.
Putusan itu juga akan memengaruhi pembelajar, pengajar, serta kalangan hukum lain di Indonesia.
"Ini menjadi semakin memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia semakin jauh gap-nya (jaraknya) antara das sein (apa yang dipelajari) dengan das sollen," kata Isnur.
Putusan majelis hakim pengadilan tingkat pertama didasarkan atas penilaian bahwa UU Tipikor tidak mengatur secara khusus pasal mengenai pemberi gratifikasi, tidak seperti pasal pemberi suap yang diatur secara jelas.
Majelis Hakim Kasasi di Mahkamah Agung menguatkan putusan tersebut dan menyatakan bahwa Samin Tan adalah korban pemerasan Eni Saragih.
"Ini jelas merusak nalar ya, merusak tatanan hukum pidana dan juga yurisprudensi," ungkap Isnur.
Baca Juga: KPK Tunggu Salinan Resmi Putusan MA, untuk Kaji Perkara Samin Tan
Selain itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung dinilai tidak mendalami dan mempertimbangkan secara serius kepentingan Samin Tan dalam pengurusan pencabutan izin PT AKT.
Menurut ICW, sebagai ultimate beneficial owner dari PT AKT, jelas bahwa Samin Tan memiliki kepentingan atas pembatalan pencabutan izin PT AKT oleh Kementerian ESDM, meskipun ia tidak tercatat sebagai pengurus perusahaan.
Karena pada akhirnya, jika izin perusahaan dikembalikan, keuntungan PT AKT yang kembali beroperasi, akan mengalir ke Samin Tan.
Beleid beneficial onwership di Indonesia, kata ICW, telah diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Perpres 13/2018).
Perpres ini mengatur tentang definisi korporasi dan beneficial onwership (BO), kewajiban korporasi untuk melaporkan BO-nya, kriteria BO, dan akses informasi BO untuk instansi terkait dan publik.
Sehingga, kata ICW, seharunya penegak hukum dalam kasus ini maupun kasus lain serupa, harus memfokuskan Samin Tan sebagai ultimate beneficial ownership.
Baca Juga: KPK Yakin Bukti Kasus Samin Tan Kuat namun Divonis Bebas
Menurut penulis PWYP Indonesia Aryanto Nugroho, Perpres tersebut masih perlu diperkuat, sebab belum mengatur tentang sanksi bagi koorporasi yang tidak memberikan data BO dengan benar.
Selain itu, ia menyampaikan data dari Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang dikutip dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) per 29 Maret 2022. Data tersebut menunjukkan masih rendahnya kepatuhan korporasi dalam melaporkan BO-nya.
Hanya 617.851 dari 2.346.788 korporasi yang terdaftar atau sekitar 26 persen yang melaporkan BO mereka.
"Artinya masih sekitar 74 persen koorporasi yang belum melaporkan BO-nya," imbuh Aryanto.
Di sisi lain, ICW menemukan bahwa sejak tahun lalu telah terjadi tren putusan MA yang meringankan terdakwa.
"Vonis kategori ringan (1-4 tahun penjara) masih mendominasi persidangan," kata peneliti ICW, Lalola Easter.
Ia menyebut, laporan ICW tahun 2022 menunjukkan bahwa pada tahun 2021 ada 929 terdakwa divonis ringan, 319 terdakwa divonis sedang, dan 13 terdakwa divonis di atas 10 tahun penjara atau masuk kategori berat.
Selain itu, ada 1.078 terdakwa yang divonis dengan pasal korupsi kerugian keuangan negara.
"Pembagiannya, 709 orang di antaranya divonis menggunakan Pasal 3 dan sisanya sebanyak 369 orang dikenakan Pasal 2 UU Tipikor," jelasnya.
Oleh karena itu, KBI mendorong agar:
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.