JAKARTA, KOMPAS.TV – Keberhasilan pemilihan umum (pemilu) bukan hanya dilihat dari tingkat partisipasi pemilih semata, tetapi juga dari keberdayaan pemilih.
Hal itu disampaikan Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam peluncuran Rumah Pemilu 2024 Kompas TV, Rabu (15/6/2022).
Dalam peluncuran melalui acara Satu Meja The Forum Spesial di Kompas TV tersebut, Ninis, sapaan akrabnya, mengatakan tujuan dari pemilu bukan hanya sekadar ada legislatif dan eksekutif terpillih.
Menurut Ninis, jika kita bicara mengenai partisipasi pemilih, sebagai rakyat dan sebagai pemilih, masyarakat punya mekanisme reward dan punishment.
“Kalau kita suka ya kita kasih reward, kita pilih lagi. Kalau kita tidak suka kita kasih punishment dengan tidak memilih lagi,” jelasnya.
“Untuk bisa seperti itu kan perlu pemilih yang berdaya, empower,” lanjut dia.
Baca Juga: Peluncuran Rumah Pemilu 2024, Benarkah Generasi Muda Tertarik pada Politik dan Pemilihan Umum?
Ninis kemudian mencontohkan data pada Pemilu 2019, dengan persentase pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) mencapai angka 81 persen.
Meski tingkat partisipasi mencapai 81 persen, lanjut Ninis, tapi suara tidak sah untuk DPR kala itu sangat tinggi, yakni 11,12 persen atau sekitar 17 juta suara tidak sah.
“Jadi kalau dirangking mungkin juara tiganya itu suara tidak sah. Jadi, orang datang ke TPS tapi mereka berdaya nggak untuk kasih reward dan punishment.”
Mengenai tingginya angka suara tidak sah, ia menyebut perlu ada kajian lebih lanjut, apakah karena pemilunya terlalu kompleks atau pemilih secara intensi memang mau merusak surat suaranya.
“Ini salah satu tantangan 2024.”
“Kita kan namanya partisipasi bukan hanya melihat orang datang ke TPS sekian puluh persen, dan kita merasa salah satu keberhasilan adalah ketika banyak orang datang ke TPS, tapi sebagai pemilih kita menjadi pemilih berdaya atau tidak,” urainya.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari mengatakan jumlah suara tidak sah yang tinggi terjadi pada surat suara pemilihan anggota DPD.
“Saya koreksi sedikit ya, jadi yang surat suara tidak sah itu bukan DPR RI tapi DPD. Padahal kan kalau segi teknisnya mudah memilihnya, ada fotonya, ada namanya,” kata Hasyim.
Ia mengakui bahwa hal Ini memang perlu dikaji. Menurutnya, pihaknya memang belum pernah mengkaji masalah itu.
Padahal, jika dilihat dari segi teknikalitas, memilih suara untuk anggota DPD disebutnya lebih mudah daripada memilih anggota DPR maupun DPRD.
Baca Juga: Harapan Generasi Muda di Pemilu 2024: Setop Politik Transaksional dan Polarisasi
“Tapi nyatanya surat suara tidak sahnya tinggi.”
“Mohon maaf, saya mengasumsikan, bisa jadi soal kewenngan lembaga DPD misalnya, dibanding dengan DPR, sisi kewenangan yang punya kewenangan membentuk undang-undang, anggaran, pengawasan, adalah DPR,” ucapnya.
Sehingga, lanjut Hasyim, bisa jadi orang berpikiran buat apa memilih anggota DPD.
“Cuma yang jadi pertanyaan, ngapainnya kok dengan ekspresi dibikin tidak sah.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.