JAKARTA, KOMPAS.TV – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Akhmad Nurwahid mengajak masyarakat agar jangan berpikir bahwa Khilafatul Muslimin bukan combatan.
Akhmad menjelaskan, indeks potensi radikalisme di Indonesia menurun sejak tahun 2020, yakni dari angka 38,4 pada tahun 2019 menjadi 12,2 di tahun 2020 dan 2021.
Jika berbicara mengenai indeks potensi radikalisme, salah satu indikatormya adalah mereka sudah antipancasila dan prokhilafah.
“Mereka sudah berpaham takfiri dengan mengkafirkan negara, mereka sudah intoleransi, mereka sudah antipemerintahan yang sah,” jelasnya dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Senin (13/6/2022).
“Yang harus dicatat, jangan berpikir bahwa Khilafatul Muslimin ini bukan combatan atau tidak melakukan aksi teror. Terorisme atau aksi teror itu hanya salah satu strategi, bukan tujuan,” katanya.
Baca Juga: Hasil Pemeriksaan, Amir Khilafah Merupakan Residivis Makar
Yang harus dilihat menurut dia adalah hulunya (ideologinya), yakni khilafah yang berpaham takfiri, yang sama dengan paham atau ideologi kelompok terorisme.
Ia juga menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang di-breakdown menjadi PP Nomor 77 Tahun 2019 mengamanahkan untuk menanggulangi terorisme secara holistik, dari hulu sampai hilir.
“Hulunya adalah pahamnya, ideologinya, yakni melalui soft approach, sementara hilirnya melalui law enforcement. Undang-Undang tersebut tidak mengamanahkan otoritas untuk melakukan preemtif justice, tapi kami hanya soft saja,” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Dunia Islam Hasibullah Satrawi menjelaskan, lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok semacam Khilafatul Muslimin biasanya bersifat eksklusif.
Hal itu menjadi salah satu kelemahan lembaga pendidikan yang ada pada kelompok-kelompok semacam itu.
“Kelemahan dalam kelompok-kelompok ini dalam pendidikan, karena dia tidak membuka pendapat lain di luar kelompoknya, jadi dia eksklusif. Sementara, pendidikan ini mestinya inklusif, sehingga dia bisa mengetahui perbandingan dan perbedaan,” tuturnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar hal yang sama jangan dilakukan dalam sistem pendidikan di Indonesia, termasuk mengenai Pancasila.
“Pancasila jangan dikunci,. Biarkan dia menjadi sebuah diskursus, sebagai sebuah sajian akademis ya,” katanya.
Dengan diterapkan pendidikan yang inklusif, pemahaman dan pengetahuan tentang Pancasila tidak sekadar menjadi ritus.
Baca Juga: BNPT: Lembaga Pendidikan Khilafatul Muslimin Cenderung Berlawanan dengan Aturan Pemerintah
“Jadi ini tidak menjadi ritus, yang akhirnya orang ngerti substansinya. Kenapa saya harus Pancasila? Anda harus tahu karena Pancasila menyelamatkan kita semua, bukan hanya menghapal satu sampai lima,” urainya.
Ia juga menyebut, tidak mengherankan jika kelompok itu memiliki puluhan lembaga pendidikan.
Sebab, salah satu ciri kelompok semacam ini adalah ingin mencukupi kebutuhan kelompoknya.
Bahkan, bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi mereka mungkin saja mempunyai sistem ekonomi yang berbeda dan ingin mempunyai sistem pemerintahan.
“Jangan terlalu kaget kalau kemudian menemukan banyak uang, menemukan banyak jaringan. Ini kelompok aktif, ini kelompok-kelompok yang bertumpu pada keyakinan,” tuturnya.
Bahkan, menurut dia, adanya banyak lembaga pendidikan yang dimiliki oleh keompok semacam ini bukan hal yang baru.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.