“Kitab-kitab fikih tidak dipelajari karena dianggap akan menimbulkan debatable atau permasalahan, sehingga memang dibuat hitam putih, untuk dibangun taklid buta,” imbuhnya.
Pembangunan ideologi maupun pahamnya, lanjut Ahmad, memang sudah diawali di tingkat sekolah dasar.
Saat pembawa acara, Aiman Witjaksono menanyakan, kenapa organisasi ini baru diungkap sekarang? Akhmad menjelaskan bahwa undang-undang yang ada belum bisa menjerat aspek ideologi.
“Berdiri tahun 1997. Kemudian pascareformasi dicabut undang-undang antisubversif,” kata Akhmad.
“Sehingga, secara undang-undang, Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang sebelumnya adalah Undang-undang Nomor 15 tahun 2003, itu belum mampu menjerat aspek ideologi,” tuturnya.
Ia menambahkan, Khilafatul Muslimin membawa ideologi khilafah yang berpaham takfiri.
Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, kata Akhmad, sudah bisa melakukan tindakan preventive justice (keadilan preventif), tetap belum bisa melakukan preemptive justice (keadilan preemptif), terkait dengan ideologinya.
Baca Juga: Diduga untuk Identitas Samaran, Polisi Temukan Ribuan Data Nomor Induk di Kantor Khilafatul Muslimin
Sehingga dalam penanganan kasus saat ini pun tidak menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, tetapi undang-undang pidana umum, baik itu Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Ormas ataupun tentang pidana umum lainnya.
“Pendidikan yang dilakukan Khilafatul Muslimin, ataupun penyebaran ideologi khilafah maupun paham takfiri dengan mengkafirkan mereka yang berbeda, termasuk mengkafirkan negara,” lanjutnya.
“Ini kan diawali dari pendidikan tingkat dasar, pengajian, melalui dakwah maupun kegiatan sosial, termasuk konvoi tadi.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.