JAKARTA, KOMPAS. TV – Indonesia kehilangan salah satu putera terbaiknya. Ahmad Syafii Maarif atau kerap disapa Buya Syafii meninggal dunia, pagi tadi Jumat (27/5/2022).
Buya Syafii dikenal banyak orang sebagai sosok yang sederhana. Meskipun merupakan sosok cendekiawan terkemuka dan pernah menjabat di berbagai posisi penting, tapi Syafii Maarif tidak pernah menunjukan gaya hidup berlebihan.
Salah satu kisah kesederhanaan Maarif yang pernah viral di internet adalah ketika dia 'dipergoki' berpergian dengan kereta api.
Padahal, ketika itu medio 2017, Maarif merupakan anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
Dalam foto yang viral itu Buya Syafii tampak sedang duduk menunggu kereta api di Stasiun Tebet bersama keponakannya, Asmul Khairi.
Mereka hendak menuju ke Istana Kepresiden Bogor untuk menghadiri kegiatan UKP -PIP.
Sikap ugahari Buya Syafi’i bukan sesuatu yang artifisial atau demi pencitraan. Hidup sederhana sudah dilakoninya semenjak masa belia di Nagari Calau yang kini bernama Nagari Sumpur Kudus, Kecamatan Sumpur Kudus, Sinjunjung, Sumatera Barat.
Baca Juga: Jokowi Sempat Menjenguk Buya Syafii 2 Bulan Lalu: Saat Itu Beliau Sudah Sehat dan Bugar
Ketika usianya baru dua tahun, ibuanya meninggal dan kemudian Pi’i, begitu panggilan kecil Buya Syafii dititipkan kepada Bainah, bibinya.
Dalam Autobiografinya berjudul 'Memoar Seorang Anak Kampung, Syafii mengenang masa -masa kecil di kampungnya.
Seperti anak-anak kampung lainnya dia kerap bermain di sawah, bertingkah jahil, tetapi juga rajin mengaji.
Namun karena kesederhanaan ketika itu, membayangkan menjadi seorang professor apalagi bakal memimpin organisasi sebesar PP Muhamaddiyah, merupakan hal yang tidak terpikirkan sama sekali olehnya.
“…cita-cita untuk jadi sarjana tidak terbayang sama sekali. Jangankan terbayang, jata sarjana itu sendiri pun aku tidak paham,” tulis Buya Syafii soal kehidupannya ketika belajar di Madrasah Mu’alaimin Balai Tengah.
Baca Juga: Puan Maharani Kenang Buya Syafii Maarif: Kedekatan Kami seperti Cucu dengan Kakeknya
Namun kelokan besar yang mengubah jalan hidupnya adalah ketika merantau ke Yogyakarta karena diajak M Sanusi Latief, kakak satu suku.
Saat itu, tahun 1953, usia Buya Syafii Maarif masih18 tahun. Mereka berangkat bersama dua sepupu lainnya. Buya Maarif kemudian belajar di Madrasah Mua’alaimin Yogyakarta.
Di Yogyakarta empat orang itu tinggal dalam satu kamar. Buya Syafii bercerita dari keempatnya, hanya dia yang tidak memiliki kasur untuk tidur.
Namun hal itu tidak menjadi masalah untuknya karena memang sejak kecil, sudah terbiasa tidur tanpa kasur.
“Bagiku keadaan seperti ini tidak menjadi halangan karena di kampung pun aku tidur tanpa kasur, bahkan tidak jarang aku tidur di sela-sela goni gambir milik ayahku,” kenang Buya Syafi’i.
Syafii juga menceritakan ketika merantau ke Yogyakarta dia membawa koper besi kuno sisa peninggalan jaman Belanda.
“Koper ini juga saksi hidup tentang betapa sederhananya keluarga bibi dan pamanku. Untuk bekal berangkat ke Jawa, bibiku juga merendangkan daging kikiak hasil tembakanku di daerah Ranoh Payu,” ujar Buya Syafi’i.
Baca Juga: Kenang Buya Syafii Maarif, Jokowi: Selamat Jalan Sang Guru Bangsa
Setelah menyelesaikan sekolah di Yoggyakarta, pada usia 21 tahun, Buya Maarif pergi ke Lombok dan bertugas menjadi guru di Pohgading, Pringgabaya, Lombok Timur.
Di tempat itu juga kehidupan sederhana sebagai guru dilakoninya.
“Sebagai guru Muhammadiyah di tempat yang ekonominya serba sederhana, aku mengerti bagaimana pengurus Muhamadiyah mencari infak untuk honorarium guru yang besarnya hanyalah sekadar untuk bertahan hidup, akan tetapi karena berasal dari keluarga desa, aku tidak terkejut. ” tulis Syafii.
Pada usia 23 tahun, Syafii memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Cokroaminoto Surakarta.
Biaya sekolah harus ditanggungnya sendiri, karena tidak ada lagi bantuan dana dari kampungnya setelah ayahnya meninggal.
Untuk membiayai kuliah dan kehidupannya, Syafii melakukan berbagai macam pekerjaan mulai dari mengajar mengaji anak-anak Minang yang ada di Solo, menjadi buruh besi tua, sampai menjadi pelayan toko kain.
‘Bermacam-macam tugasku di toko ini, pelayan, kasir, dan tidak jarang disuruh membeli barang ke Bandung dan Surabaya”
Kehidupan sederhana terus melekat bersama Buya Syafii. Masa-masa bersekolah di Chicago Amerika Serikat pun tidak mengubahnya.
Menjadi dosen hingga memimpin Muhammadiyah pun, dia tetap dikenal sebagai sosok yang bersahaja.
Sumber : Kompas TV/berbagai sumber
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.