Baca Juga: ICW Ungkap Tren Penindakan Korupsi 2021, Hasilnya Polri Sangat Buruk, KPK Buruk, Kejaksaan Baik
“Bisa dibayangkan, nilai kerugian keuangan negara yang mencapai miliaran rupiah justru diganjar dengan hukuman ringan. Berbanding terbalik dengan perkara-perkara yang kerugian keuangan negaranya ratusan juta rupiah malah dihukum lebih berat,” kata Kurnia.
“Mestinya, nilai kerugian keuangan negara yang timbul harus dijadikan alasan pemberatan hukuman bagi terdakwa,” sambungnya.
Oleh karena itu, ICW mendorong Mahkamah Agung mencermati tren hukuman ringan kepada pelaku korupsi, salah satunya dengan mengidentifikasi hakim-hakim yang kerap melakukan hal tersebut.
“Jika ditemukan adanya kekeliruan, Mahkamah Agung harus mengevaluasi kinerjanya dengan tolak ukur objektif,” ucap Kurnia.
Di samping itu, Kurnia menuturkan Mahkamah Agung juga harus menyusun pedoman sebagai tolak ukur majelis hakim saat menguraikan alasan memperingan dan alasan memperberat hukuman terdakwa.
“Mahkamah Agung harus lebih gencar mensosialisasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” ujarnya.
Baca Juga: Lili Pintauli Diduga Terima Gratifikasi Nonton MotoGP, ICW: Dewas KPK Harus Proaktif Cari Bukti
“Sekaligus mengevaluasi secara berkala hakim-hakim yang melenceng dari aturan tersebut saat memutus suatu perkara,” tambahnya.
Tak hanya itu, lanjut Kurnia, Mahkamah Agung harus mulai menyusun pedoman pemidanaan bagi tindak pidana korupsi di luar kerugian keuangan negara, seperti suap, gratifikasi, pemerasan, benturan kepentingan dalam proses pengadaan, dan lain sebagainya.
“Sebab, fenomena disparitas juga kerap terjadi dalam jenis korupsi lainnya,” kata Kurnia.
“Badan Pengawas Mahkamah Agung harus bertindak aktif untuk melihat dan mencermati hakim-hakim yang kerap menghukum ringan terdakwa korupsi dengan pertimbangan-pertimbangan ganjil,” tambahnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.