JAKARTA, KOMPAS.TV - Hari ini, 21 Mei, dikenang sebagai momen ketika Presiden kedua RI Soeharto mundur dari kekuasaannya, setelah selama 32 tahun berkuasa. Mundurnya orang terkuat di Asia Tenggara tersebut, menjadi tonggak lahirnya era reformasi.
Namun, kisah kejatuhan Soeharto menyisakan drama tragis seorang penguasa. Pasalnya, selama 32 tahun berkuasa, oleh para pendukung, orang dekat, dan para menterinya, Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang hebat. Gelar "Bapak Pembangunan" adalah salah satu pujian kepadanya.
Namun, nama itu dengan cepat sirna kala gelombang reformasi terus bergerak. Menjelang 21 Mei 1998, Soeharto berusaha mempertahankan kekuasaan dengan melakukan perombakan kabinet dengan rencana menyusun "Kabinet Reformasi".
Baca Juga: Hari Ini 24 Tahun Silam: Soeharto Lengser, Parpol Menjamur dan Presiden Tak Boleh Seenaknya Berkuasa
Sejumlah nama sudah disusun. Namun, saat itu, 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) Ginandjar Kartasasmita, menolak masuk ke dalam Komite Reformasi atau Kabinet Reformasi hasil reshuffle.
Padahal, perombakan kabinet atau Komite Reformasi diyakini sebagai salah satu cara Soeharto untuk "menyelamatkan diri" atas tuntutan mundur terhadapnya, seiring tuntutan reformasi yang semakin besar.
Saat itu, kondisi politik dan ekonomi memang tidak menguntungkan Soeharto, terutama pasca-Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 dan kerusuhan bernuansa rasial pada 13-15 Mei 1998.
Para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi juga sudah menguasai gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998.
Mereka menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR dengan agenda pencopotan Soeharto.
Dilansir dari dokumen Harian Kompas yang terbit 27 Mei 1998, penolakan 14 menteri ini bermula pada pukul 14.30 WIB.
Empat belas menteri bidang Ekuin itu mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas.
Hanya dua menteri yang tidak hadir, yaitu Menteri Keuangan Fuad Bawazier dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Muhammad Hasan alias Bob Hasan.
Ke-14 menteri yang menandatangani, sebut saja Deklarasi Bappenas itu, secara berurutan adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah.
Baca Juga: Kisah Lawas Soeharto dan Gus Dur soal Tarawih 23 dan 11 Rakaat: Awalnya Tegang, Berujung Candaan
Kemudian, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi MBA, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Penolakan ini menambah kekecewaan Presiden Soeharto. Sebab, sebelumnya Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief telah mengirimkan surat permintaan pengunduran diri dari Kabinet Pembangunan VII. Surat itu sendiri belum dijawab Soeharto hingga detik-detik akhir dia menjabat presiden.
Situasi pun terus memburuk. Stabilitas politik terganggu. Kekecewaan masyarakat terutama pada harga-harga yang melambung tinggi, PHK di mana-mana, membuat kondisi negara sangat genting.
Ketua DPR dan MPR Harmoko, yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar, tak bisa berbuat banyak.
Harmoko membacakan satu halaman keterangan persnya, didampingi seluruh Wakil Ketua DPR atau MPR yakni Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-Wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Mei 1998.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.