Malamnya, seorang pasien meninggal dunia. Karena kondisi darurat pasien pun dikubur di hutan.
Di tempat ini rombongan beristirahat selama dua hari untuk menyimpan tenaga, sebab perjalanan selanjutnya harus mendaki pegunungan yang berat.
Setelah cukup istirahat, pada hari kelima rombongan meneruskan perjalanan. Kali ini mereka tidak menggunakan pedati.
Para pasien diletakkan di punggung sapi, dengan diikatkan pada leher dan ekornya agar pasien dapat berpegangan erat selam perjalanan berat.
Karena medan yang berat, hutan lebat dan pegunungan, rombongan pun tersesat di hutan kawasan Puncak.
Namun setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akhirnya rombongan tiba di sebuah kampung yang berada di kawasan Cipanas. Tapi hari sudah larut, mereka hanya bisa merebahkan badan dan makan ala kadarnya.
Pada hari keenam, barulah rombongan pasien di bawa ke rumah sakit di Cipanas dalam kondisi semua sudah kelelahan. Nyaris satu pekan mereka di perjalanan melalui sungai tanpa jembatan, hutan, dan gunung.
Baca Juga: Libur Nyepi, Kawasan Puncak Bogor Macet dari Keluar Tol CIawi Akibat Sistem Satu Arah
Beratnya perjalanan Jakarta-Puncak, pernah dialami Marsekal Dandels ketika dia berencana melakukan perjalanan Batavia-Bogor pada 1808.
Kala itu, para bawahannya menjelaskan bahwa perjalanan tak mungkin dilakukan pada "musim buruk".
Sebagai gambaran, jembatan-jembatan penghubung hanya ada di kota (Batavia). Jika ada pejabat Batavia hendak ke Bogor, maka dibuatlah jembatan dari bambu, yang tak boleh dilalui pedati.
Bahkan hingga pendudukan Inggris, jembatan belum penghubun antar desa masih belum ada di Bogor.
Demikianlah sekelumit sejarah perjalanan Jakarta-Puncak atau Bogor di masa lalu yang sangat melelahkan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.