JAKARTA, KOMPAS.TV – Hari ini, 3 Mei, diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia. Selama dua dekade lebih perayaan ini berlangsung, kemerdekaan pers di Indonesia disebut-sebut belum juga terjamin sepenuhnya.
Menurut Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang dipublikasikan Dewan Pers pada 2021, skor IKP nasional adalah 76,02. Angka ini naik dibandingkan skor pada 2020, yaitu 75,27.
Skor di 2021 dan 2020 menunjukkan kemerdekaan pers nasional ada di kategori Cukup Bebas.
IKP Dewan Pers diperoleh melalui survei di 34 provinsi. Survei melibatkan 12 informan ahli di masing-masing provinsi. Para informan ahli terdiri dari pengurus aktif organisasi wartawan, pimpinan perusahaan media, masyarakat, dan pemerintah.
Sebagai gambaran yang lebih jelas, ada beberapa jenis kekerasan yang dialami jurnalis, antara lain teror dan intimidasi (sembilan kasus), kekerasan fisik (tujuh kasus), serta pelanggaran liputan (tujuh kasus).
Ada pula serangan digital (lima kasus), ancaman (lima kasus), dan penuntutan hukum (empat kasus). Totalnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 43 kasus kekerasan sepanjang 2021.
Dari sekian jenis serangan, doxing atau pembongkaran data pribadi adalah salah satu kasus yang menarik dibahas di era digital kini.
Baca Juga: Polisi Pelaku Kekerasan Terhadap Jurnalis Divonis 10 Bulan Penjara, AJI Dorong JPU Lakukan Banding
Beberapa waktu lalu yang paling menghebohkan terkait hal ini adalah peretasan kanal digital WatchDoc usai film dokumenter tentang mantan pegawai KPK tidak lulus tes wawasan kebangsaan dirilis.
Serangan digital juga terjadi di laman Project Multatuli setelah reportase tentang berhentinya penyelidikan kasus pemerkosaan terbit.
Melansir dari Kompas.id, Ketua Umum AJI Sasmito Madrim mengatakan, serangan digital ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah maupun negara yang semestinya memberi jaminan keamanan digital ke warga negaranya, termasuk jurnalis.
“Tidak bisa terjadi pembiaran-pembiaran,” kata Sasmito, dikutip Selasa (3/5/2022).
AJI kini sedang mendokumentasikan serangan-serangan yang dialami jurnalis. Data tersebut akan dijadikan bahan advokasi.
Kemudian, menurut data SAFEnet, ada 13 kasus doxing yang dialami jurnalis pada periode 2017-2020. Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, doxing yang dialami jurnalis umumnya untuk memersekusi target di dunia maya. Persekusi diharapkan berlanjut ke dunia nyata.
”Serangan doxing ini juga bersifat delegitimasi atau sebuah upaya untuk membuat jurnalis tersebut tidak dipercaya oleh publik,” tuturnya.
Tantangan lain bagi jurnalis adalah regulasi yang kemudian digunakan untuk membatasi kerja pers. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) digunakan untuk memidanakan jurnalis.
Tahun 2020, AJI mencatat dua jurnalis divonis bersalah karena melanggar UU ITE. Salah satu kasus karena jurnalis dinyatakan menyebar informasi yang menimbulkan permusuhan.
Lalu, pada 2021, AJI mencatat ada tiga laporan jurnalis terkait UU ITE. Adapun Dewan Pers mencatat sedikitnya 44 perkara terkait UU ITE pada tahun yang sama.
Sasmito mengatakan, kebebasan pers mesti dijamin agar demokrasi berjalan baik. Sebab, pers merupakan pilar demokrasi keempat.
Pers yang bebas juga berfungsi untuk menjamin berjalannya pemerintahan yang bersih dan transparan.
”Apalagi, ini menjelang pemilu. Akan sulit jika kemerdekaan pers tidak dijamin. Tujuan dan agenda nasional akan sulit terwujud. Kebebasan pers ini bukan demi kebaikan jurnalis saja, tapi juga publik,” ujarnya.
Baca Juga: Besok, Organisasi Pers Akan Hadiri Vonis Pelaku Kekerasan Terhadap Jurnalis Nurhadi
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.