JAKARTA, KOMPAS.TV — Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Prof. Purnawan Basundoro mengatakan, tradisi mudik berkaitan erat antara arus urbanisasi dan perbandingan sarana transportasi.
Menurutnya, mudik itu mengacu pada sejarah urbanisasi yakni perpindahan dari desa ke kota sebagaimana mulai masif dilakukan pada tahun 70-an.
Adapun 'mudik' berasal dari kata Udik dalam bahasa Betawi yang mengacu pada desa atau pulang ke desa.
Selain itu Purnawan Basundoro menyatakan, mudik mulai menjadi tren dan sangat masif dilakukan saat Jakarta menjadi pusat pembangunan.
"Saya kira mudik jadi tren dan sangat masif luar biasa itu ketika Jakarta menjadi center pembangunan, center dari aktivitas ekonomi. Di mana masyarakat dari desa banyak menetap di Jakarta. Sehingga saat tertentu mereka pulang ke kampung halaman terutama saat hari raya," kata Purnawan Basundoro dalam program dialog Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Minggu (1/5/2022).
Meski begitu, Purnawan menjelaskan, sebelum itu pada awal abad ke-20 mudik sudah dilakukan di wilayah Jawa Timur.
Terlebih, lanjutnya, saat itu Kota Surabaya menjadi kota industri pertama sebelum akhirnya Batavia atau sekarang ini disebut Jakarta.
Baca Juga: Arus Mudik di Jalur Selatan Tasikmalaya Macet hingga 10 Kilometer! Polisi Terapkan “One Way”
"Banyak orang dari Madura yang kerja di Surabaya sehingga pada saat tertentu mereka juga pulang kampung," jelasnya.
Kemudian, ia menerangkan, mudik makin masif dilakukan masyarakat sekira tahun 80-an. Saat di mana angkutan transportasi mulai menghubungkan kota Jakarta dengan wilayah lain di Pulau Jawa.
Salah satunya dibuktikan dengan munculnya berbagai trayek transportasi antarkota, seperti Jakarta-Wonogiri, Jakarta-Purwokerto, Jakarta-Solo, dan lain sebagainya.
"Fasilitas transportasi yang mudah itulah yang menyebabkan arus dari desa ke Jakarta makin tinggi dibanding kota lain. Sehingga kebalikannya ketika ada momen Idullfitri mereka juga mendapat kemudahan pulang ke kampung halaman," terangnya.
Selain itu hal yang paling mencolok adalah sarana untuk pulang kampung. Menurutnya, sejak akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda membuat transportasi kereta api sehingga sarana itulah yang dimanfaatkan untik kepentingan orang mudik.
Lalu, ketika Indonesia merdeka berbagai transportasi nonkereta api mulai banyak dan dimanfaatkan untuk melakukan tradisi tersebut mulai dari bus hingga kendaraan pribadi.
Bahkan, pada tahun 2000-an banyak sekali perusahaan swasta dan pemerintah mulai mengorganisir mudik dengan nama 'Mudik Bersama'.
Bahkan sekarang ini dengan sarana tol yang membentang dari ujung barat hingga timur Jawa semakin mempermudah orang untuk bergerak dari satu kota ke kota lain.
Dan, tak sedikit yang menggunakan kendaraan pribadi untuk mudik.
"Seperti saya dulu dari Surabaya ke kampung halaman itu bisa 12 jam tapi sekarang (karena tol) bisa terpotong setengahnya. Tapi yang perlu diingat bahwa seberapapun fasilitas yang terus ditambah dan diperbaiki pemerintah tak akan mengimbangi, sebab disatu sisi euforia mudik semakin tinggi," katanya.
Lantaran erat dengan urbanisasi dan transportasi, maka kemudian kegiatan mudik di Indonesia bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang agama.
Meskipun menurut Purnawan, mudik sangat identik dengan hari raya Islam karena pemeluk agama tersebut sangat tinggi di Indonesia dan pada momen itulah orang-orang paling banyak melakukan mudik.
"Namun sekarang peserta mudik itu tidak semata-mata orang Islam, siapapun yang pergi ke Jakarta walaupun itu bukan muslim atau tidak merayakan Idulfitri juga ikut ke dalam arus mudik itu. Sekarang ini tradisi mudik bukan semata-mata milik umat Islam namun mengikuti momen besar hari raya Islam itu," paparnya.
Baca Juga: Jelang Lebaran, Polda Metro Imbau Warga Jakarta Tidak Takbiran Keliling
Sementara itu terkait mudik yang disebut muncul sejak zaman kerajaan, Purnawan Basundoro mengungkap bahawa hal tersebut berbeda konteks dengan mudik sebagaimana secara sosiologis sekarang ini.
"Menurut saya tradisi mudik gabungan dari arus urbanisasi dan perbandingan sarana transportasi. Zaman kerajaan juga sudah ada, tapi konteksnya bukan mudik sebagaimana secara sosiologis seperti sekarang," tuturnya.
"Dulu memang ada orang desa yang kerja di pusat-pusat kerajaan sehingga pada momen tertentu mereka pulang ke kampung halaman mereka. Tapi konteksnya saya kira berbeda dengan mudik pada zaman sekarang ini," imbuhnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.