Dedi lebih lanjut mengatakan, putusan stop ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng hanya akan menguntungkan pemain besar, khususnya perusahaan yang memiliki pabrik kelapa sawit, fasilitas refinery atau penyulingan, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.
Pasalnya, perusahaan-perusahaan semacam itu memiliki modal kuat, kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan lain untuk menghindari kerugian.
Di samping itu, tambah Dedi, industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi karena kebutuhan minyak goreng yang bermasalah hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton per tahun. Bandingkan dengan total produksi yang mencapai 47 juta ton per tahun untuk CPO dan 4,5 juta ton per tahun untuk palm kernell oil (PKO).
Baca Juga: 3 Perusahaan Minyak Goreng Tak Kooperatif, KPPU Minta Bantuan Polisi
“Buah sawit itu tidak bisa disimpan lama, begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk. Akibatnya, rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan. Pemilik pabrik kelapa sawit juga tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama," katanya.
Sebagaimana telah diberitakan, Presiden Joko Widodo memutuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022.
Keterangan itu disampaikan Presiden seusai memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri, Jumat (22/4/2022).
“Dalam rapat tersebut telah saya putuskan, pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Presiden Jokowi menegaskan akan memantau ketersediaan minyak goreng di tanah air.
“Saya akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau,” ucapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.