JAKARTA, KOMPAS.TV – Buzzer politik berperan penting menyulut kebencian dan kekerasan verbal. Buzzer juga merupakan agen kebencian.
Hal itu disampaikan oleh Dr Wijayanto, Direktur Pusat Studi dan Media dan Demokrasi LP3ES, dalam Diskusi LP3ES dengan tema 'Gerakan Mahasiswa dan Masa Depan Demokrasi', Rabu (13/4/2022).
“Buzzer politik berperan penting untuk menyulut kebencian dan kekerasan verbal dengan cap-cap kadrun dan cebong,” jelasnya.
Menurut dia, buzzer juga berperan penting dalam memanipulasi opini publik ketika menstigma KPK yang seolah telah dikuasai Taliban.
“Ada setengah juta percakapan dalam waktu 1 minggu menjelang disahkannya UU KPK baru, yang berisi dukungan kepada revisi UU KPK akibat isu Taliban.”
Baca Juga: 2 Aktivis '98 Perdebatkan Tuntutan Mahasiswa Soal Tolak Penundaan Pemilu
Dalam diskusi tersebut, Wijayanto juga menyebut buzzer sebagai agen kebencian, dan mengakibatkan perselisihan di tingkat akar rumput tidak pernah usai.
Secara psikologi sosial, kata Wijayanto, kebencian yang terbangun tidak bisa dipisahkan dari ritual electoral dengan penggunaan politik identitas, yang digunakan demi kemenangan electoral.
“Akibatnya perselisihan di tingkat akar rumput menjadi tidak pernah usai bahkan setelah pemilu selesai dan Prabowo telah menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.”
“Siapa yang menjadi agen kebencian, merekalah para buzzer politik,” lanjutnya.
Studi yang dilakukan LP3ES, Universitas Amsterdam, UNDIP dan Drone Emprit, lanjut dia, menemukan bahwa kedua kubu sama-sama menggunakan cybertroop dengan framing kepada lawan politik melalui politik identitas.
Wijayanto menambahkan, semua pihak harus mengecam aksi kekerasan yang terjadi, bukan hanya pada yang dialami dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando, tetapi juga terhadap warga Kampung Wadas, enam anggota FPI, dan dua mahasiswa di Kendari yang gugur ketika aksi menolak revisi UU KPK.
“Mengecam tentu tidak cukup karena yang dibutuhkan adalah langkah-langkah kesetaraan hukum yang tidak mencederai rasa keadilan publik.”
Dalam kesempatan itu, Wijayanto pun berpendapat wacana penundaan pemilu dan masa jabatan presiden tiga periode gagal akibat aksi mahasiswa.
“Wacana perpanjangan jabatan presiden dan penundaan pemilu menjadi gagal setelah adanya aksi gerakan mahasiswa masif yang menentang segala wacana buruk tersebut.”
“Presiden Jokowi kemudian menegaskan bahwa Pemilu 2024 akan dilaksanakan sesuai jadwal. Untuk itu gerakan mahasiswa harus diberi selamat,” tuturnya.
Sementara, narasumber lain dalam diskusi tersebut, Dipo Alam, mantan Ketua Dewan Mahasiswa, menyebut gerakan mahasiswa saat ini mempunyai modal lebih genuine, jujur dan jernih.
Mereka patut didoakan oleh semua warga masyarakat yang peduli terhadap perbaikan Indonesia ke depan, agar berlangsung dengan selamat dan tanpa disertai penangkapan-penangkapan.
Meski demikian, mahasiswa perlu waspada, sebab sejak dulu akan selalu ada pihak-pihak yang akan mendompleng dan mengambil keuntungan dari aksi tersebut.
Baca Juga: Polisi Umumkan Terduga Abdul Manaf Tak Terlibat Pengeroyokan Ade Armando saat Demo 11 April
“Pada generasi terdahulu gerakan mahasiswa selalu melakukan dialog dengan berbagai kelompok strategis, seperti yang saya lakukan ketika meminta Ali Sadikin menjadi presiden menggantikan pak Harto.”
Gerakan mahasiswa menentang wacana perpanjangan jabatan presiden dan penundaan pemilu 2024, kata dia, patut diberikan support.
Fungsi 'agent of change' dan gerakan moral harus terus dikedepankan, terutama untuk mencegah makin meningkatnya iklim ketakutan berpendapat di tengah masyarakat.
“Survei Indikator mencatat sekitar 65% warga masyarakat sekarang takut berpendapat, itu menunjukkan kualitas demokrasi yang semakin memudar di Indonesia,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.